Senin, 02 Januari 2012

MITOS PINDAHNYA SIMBOL KEKUASAAN CIREBON KE BANTEN

Cerita tentang pindahnya simbol kekuasaan Cirebon ke Banten diawali oleh keputusan para wali untuk menghukum mati Syeh Lemah Abang karena memiliki paham keagamaan yang berbeda dengan para wali lainnya. Paham yang dimiliki oleh Syeh Lemah Abang itu sangat berbahaya kalau diajarkan kepada kaum muslimin yang awam. Dengan menggunakan keris Kantanaga milik Sunan Gunung Jati, Sunan Kudus menusuk tubuh Syeh Lemah Abang sampai meninggal dunia.

Seketika, tubuhnya menghilang dan seiring dengan itu keluarlah suara gaib yang meramalkan masa depan Cirebon. Suara gaib itu berkata, “Bahwa Cirebon akan menjadi negara merdeka sampai anak-cucu, tetapi nanti jika telah datang kerbau putih, anak-cucu harus tahu sendiri”. Sunan Gunung Jati pun membenarkan ramalan suara gaib itu dan hal itu akan terjadi pada generasi kesembilan keturunannya.
Selanjutnya diceritakan dalam Babad Cirebon, terjadilah perkawinan antara Ratu Ayu dan Ratu Bagus Faseh. Ratu Ayu merupakan anak Sunan Gunung Jati sekaligus bekas istri Sultan Demak. Pernikahan itu melahirkan seorang putri yang bernama Ratu Nawati Rarasa yang kemudian dinikahi oleh Pangeran Dipati Pakungja, anak Pangeran Pasarean. Mereka kemudian memiliki putra yang kemudian dikenal sebagai Panembahan Ratu. Setelah Sunan Gunung Jati meninggal dunia, kekuasaan atas Cirebon diserahkan kepada Panembahan Ratu.
Pada masa itu, Mesjid Agung Cirebon terbakar dan bagian atas masjid itu (momolo) meloncat menuju Banten. Sejak saat itu berdirilah Kesultanan Banten yang mengalami perkembangan begitu pesat. Sebaliknya dengan Cirebon, sejak peristiwa itu mengalami kemunduran yang ditandai dengan takluknya Panembahan Ratu atas Sultan Mataram. Selain takluk kepada Sultan Mataram, ia pun kemudian menjadi bayangan penguasa Banten.
Sejak saat itulah, di daerah paling barat Pulau Jawa berdiri Kesultanan Banten yang mengalami kemajuan pesat dan kekuasaannya meliputi sebagian Pulau Sumatera. Kejayaan Kesultanan Banten tidak bisa dikalahkan baik oleh VOC maupun oleh Mataram. Hanya karena terjadi konflik intern, kedaulatan Kesultanan Banten sedikit demi sedikit berkurang. Terkait dengan hal ini, sebagian masyarakat Banten mengenal adanya cerita yang kalau diperhatikan cenderung bersifat mitos karena kebenarannya sulit dibuktikan secara historis.
Ketika Kesultanan Banten dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa, kesultanan ini mencapai masa kejayaannya. Selain itu, ia pun menghadapi dua musuh sekaligus yaitu VOC dan anaknya sendiri yang dikenal dengan sebutan Sultan Haji. Sultan Haji menjadi musuh ayahnya karena terhasut oleh VOC. Permusuhan itu lambat laun menjadi konflik terbuka sehingga terjadilah peperangan terbuka antara bapak dan anaknya. Peristiwa ini sungguh sangat memalukan masyarakat Banten yang dikenal sebagai masyarakat yang menjungjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Untuk menutupi peristiwa tersebut diciptakanlah cerita yang isinya menolak penentangan Sultan Haji kepada ayahnya.
Dalam Wawacan Haji Mangsur, dikatakan bahwa sewaktu masih kecil, Pangeran Abunasr Abdulkahar (Sultan Haji) merupakan seorang anak yang halus budi pekertinya dan amat berbakti kepada orang tua. Ketika usianya sudah cukup dewasa, ia pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Sebelum berangkat ke Mekkah, ia dinasihati oleh ayahnya (Sultan Ageng Tirtayasa) untuk segera pulang ke Banten begitu selesai menunaikan ibadah haji.
Ayahnya meminta kepada anaknya agar sepulangnya dari Mekkah tidak singgah kemana-mana dahulu. Akan tetapi, Pangeran Abunasr Abdulkahar ini lupa akan nasihat ayahnya karena setelah menunaikan ibadah haji, ia tidak langsung pulang ke Banten melainkan terlebih dahulu singgah di Negeri Cina dan menikahi seorang wanita Tionghoa yang sangat cantik. Ketika Pangeran Abunasr Abdulkahar masih tinggal di Negeri Cina, ada seorang laki-laki yang mirip dengan dirinya. Laki-laki itu adalah kakak perempuan yang dinikahi oleh Pangeran Abunasr Abdulkahar.
Laki-laki yang mirip Pangeran Abunasr Abdulkahar ini kemudian meninggalkan negerinya menuju Banten, negeri suami adiknya. Setelah mendarat di Banten, ia kemudian mengakukan diri sebagai Pangeran Abunasr Abdulkahar, putra Sultan Ageng Tirtayasa. Meskipun penuh dengan ketidakpercayaan, Sultan dan rakyat Banten menerima kedatangan Pangeran Abunasr Abdulkahar dan memperlakukannya  sebagaimana lazimnya terhadap putra mahkota. Setelah dirinya berada di keraton, VOC mulai melaksanakan rencananya untuk mengadudombakan mereka. Oleh karena itu, terjadilah konflik terbuka antara ayah dan “anaknya” itu.
Selain itu, terdapat pula cerita mitos tentang Sultan Haji yang agak berbeda dengan cerita sebelumnya. Ketika akan menunaikan ibadah haji yang keduakalinya, Sultan Haji singgah dahulu di Pulau Putri. Di pulau ini, ia jatuh cinta kepada seorang putri cantik dan berkeinginan untuk menikahinya. Sang putri mau dinikahi oleh Sultan Haji asalkan seluruh pakaian dan perhiasannya mesti dijadikan mahar pernikahan mereka.
Sultan Haji menyanggupi permintaan Sang Putri dan menyerahkan seluruh pakaian dan perhiasannya kepada Sang Putri. Oleh Sang Putri, mahar pernikahannya itu diberikan kepada kakaknya yang kebetulan berwajah mirip dengan Sultan Haji. Setelah mengenakan pakaian dan seluruh perhiasan Sultan Haji, kakak Sang Putri kemudian berlayar ke Batavia dan mengaku diri sebagai Pangeran Abunasr Abdulkahar (Sultan Haji). Rakyat Banten mengakuinya, karena memang wajahnya amat mirip dengan Sultan Haji asli.
Apalagi dengan mengenakan pakaian dan perhiasan Sultan Haji, sempurnalah ia sebagai Sultan Haji palsu. Dialah yang kemudian berperang melawan Sultan Ageng Tirtayasa dan memerintah Banten. Selang beberapa tahun, Sultan Haji asli pulang ke Banten dan melihat keadaan Banten yang sudah berubah. Untuk menjaga jangan sampai terjadi keributan di negerinya, ia kemudian pergi ke Cimanuk, Cikadueun, Pandeglang. Di sana ia aktif menyebarkan agama Islam  hingga meninggal dunia. Dialah yang kemudian dikenal dengan nama Haji Mansyur atau Syekh Mansyur Cikadueun.
Cerita rakyat yang telah disajikan itu merupakan mitos yang terkait dengan masa perpindahan kekuasaan dari Kerajaan Sunda kepada Kesultanan Banten dan mitos yang bertalian dengan keberadaan Kesultanan Banten. Cerita itu dikategorikan sebagai mitos karena memang sangat sulit untuk dibuktikan secara historis. Musnahnya Pucuk Umun yang kemudian menjelma menjadi burung beo, kemudian ayam Pucuk Umun yang terbuat dari pasir besi dan ayam Maulana Hasanudin yang merupakan jelmaan jin merupakan cerita yang sulit untuk diterima oleh akal sehat.
Demikian juga dengan penentuan tempat tinggal Sunan Gunung Jati yang dilakukannya dengan melemparkan tongkat dari Cirebon dan cerita mengenai kesaktian serta terdapat dua orang Sultan Haji, merupakan cerita yang sangat sulit dibuktikan secara historis. Cerita-cerita mitos itu kemudian hidup di tengah-tengah masyarakat dan kemudian dipandang sebagai bagian dari cerita masa lalu masyarakat Banten.

Sumber : http://humaspdg.wordpress.com/2010/04/20/mitos-mitos-yang-beredar-di-masyarakat-di-banten-kidul/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar