Sabtu, 26 Desember 2015

Samadikun di Kapal Gajah Mada, Soedarsono Baca Teks Proklamasi

DARI CIREBON: Mohamad Bondan, tokoh kelahiran Cirebon yang memiliki peran besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. ISTIMEWA/RADAR CIREBON


JALAN yang memanjang dari arah utara ke selatan pesisir Kota Cirebon itu kini masih mengesankan adanya getar kepahlawanan. Jalan itu bernama Jl Kapten Samadikun. Agak menikung ke arah barat, terdapat jalan kecil menuju Taman Makam Pahlawan (TMP) Kesenden. Di situlah Letnan Satu (Laut) Samadikun dimakamkan. Karena jasanya pangkatnya dinaikkan satu tingkat menjadi Kapten (Laut).
Kisah kepahlawanan ini dimulai 5 Januari 1947 terjadi perlawanan Kapal Gajah Mada di perairan Cirebon. Sebuah “coaster” berukuran 150 ton, berasal dari Singapura diubah bentuknya menjadi sebuah kapal perang dengan nama Gajah Mada, dan dijadikan kapal pimpinan ALRI Pangkalan III Cirebon.
Pada 1 Januari sampai dengan 5 Januari 1947 Kapal Laut Gajah Mada memimpin latihan gabungan ALRI di bawah komandannya Letnan I Samadikun dengan angkatan darat di perairan Cirebon. Dalam latihan itu ikut pula empat buah kapal patroli pantai.
Pada 5 Januari 1947 pukul 06.00 ketika iring-iringan kapal berlayar ke arah utara, di tengah jalan berpapasan dengan sebuah kapal buru torpedo Belanda, HMS Kortenaer yang memberi isyarat agar iring-iringan kapal tersebut berhenti. Isyarat itu tak diindahkan, oleh karena itu kapal Belanda melancarkan serangan.

Negara Pasoendan dan Partai Rakjat Tjirebon


Pengambilan sumpah RAA Wiranatakusumah sebagai wali Negara Pasundan, 26 April 1948. Sumber: 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949
  

DI tengah pergolakan dan upaya pemecahbelahan Republik Indonesia oleh pihak Belanda, pada hari Rabu 21 Juli 1947, Belanda menyerbu Cirebon. Pada hari Jumat 23  Juli 1947 tersiar berita, PRP (Partai Rakjat Pasoendan) Kartalegawa telah siap hendak mengadakan rapat umum di Alun-alun Kejaksan.

Orang-orang partai telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan, seperti terjadinya penangkapan dan pembunuhan-pembunuhan terhadap kaum Republik di Bogor yang dilakukan Mr Kustowo, tangan kanan Kartalegawa (Soesilo, Perdjoangan Masa Pendudukan dalam Buku Peringatan 50 Tahun Kota Besar Tjirebon, 1956).
Sejarawan Cirebon, Nurdin M Noer, menuturkan, dalam catatan Soesilo menjelaskan Sultan Kanoman juga menuntut hak kekuasaannya atas daerah ini dan yang tak mau menerima PRP hendak membentuk PRT (Partai Rakjat Tjirebon). Untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan, rapat umum Kartalegawa oleh Recomba tidak diizinkan di Alun-alun Kejaksan dan dilangsungkan di Palimanan.
“Rapat umum dipimpin Muksin, pembantu Kartalegawa yang setia. Demikian pula gerakan Kartalegawa di daerah Cirebon untuk sementara dilarang, sehingga Cirebon terhindar dari penangkapan dan pembunuhan pihak PRP pimpinan Kartalegawa,” tuturnya.