Gunung jati termasuk wilayah negeri/daerah Singapura, merupakan bawahan Kerajaan Pajajaran. Oleh karena letaknya di tepi pelabuhan Muara Jati, maka berdatanganlah para pedagang asing seperti dari Cina, Arab dan Gujarat ( Pantai India barat ).
Ramainya perahu dagang asing berlabuh dipelabuhan Muara Jati itu selain letaknya yang strategis bagi perniagaan, juga karena penguasa negeri Ki Gede Surasijaga dan syahbandarnya Ki Gede Tapa atau Ki Jujunan Jati bersikap toleran terhadap setiap pedagang asing.
Pada sekitar tahun 1420 M datanglah serombongan pedagang dari Bagdad yang dipimpin oleh Syekh Idlofi Mahdi. Mereka memohon diperkenankan menetap di sekitar perkampungan Muara Jati dengan alasan supaya dekat dengan pasar di Kampung Pasambangan disekitar Gunung Jati untuk memperlancar perdagangan.
Oleh Ki Surawijaya rombongan Syekh Idlofi Mahdi itu diizinkan tinggal di Kampung Pasambangan. Sejak itulah disampingberdagang mereka sebagai mubalig giat berdakwah mengajak masyarakat mengenal agama Islam.
Setelah mendengar tentang agama baru itu, orang-orang terus berdatangan dan menyatakan diri masuk Islam dengan tulus ikhlas,. Oleh karena yang memeluk Islam dari hari ke hari semakin banyak dan untuk ketenangan mereka yang ingin mempelajari Islam lebih dalam, Syekh Idlofi diperkenankan mengambil tempat di Gunung Jati sebagai pengguron Islam.
Dengan cara yang bijaksana dan penuh hikmat dalam mengajarkan agama Islam, dalam waktu relatif singkat pengikutnya semakin banyak dan tersebar samapi ke pusat Kerajaan Pajajaran, hingga akhirnya pengguron kedatangan Raden walangsungsang dan adiknya Nyi Mas Ratu Rarasantang serta istrinya Nyi Endang Geulis yang bermaksud ingin mempelajari agama Islam.
Raden walangsungsang dan Ratu Rarasantang keduanya adalah putera-putri Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi dari perkawinanannya dengan Nyi mas Subanglarang Putri Ki Junjunan Jati. Dengan demikian keduanya adalah cucu dari Syahbandar pelabuhan Muara jati. Kedatangan mereka ke Gunung Jati disamping melaksanakan perintah Ibudanya sebelum meninggal juga bermaksud sungkem kepada eyangnya.
Kepergian mereka ke Pangguron Gunung Jati tanpa seizin Ayahanda, karena Prabu Siliwangi kembali memeluk Agama Budha setelah Nyi Subanglarang meninggal dunia, namun kedua putra –putra itu sudah didik dan diberi petunjuk oleh almarhun Ibunya agar memperdalam agama Islam di Pangguron Gunung Jati.
Kehadiran keluarga keraton Pajajaran tersebut, menjadikan Syekh Idlofi semakin giat menyiarkan dan mengembangkan agama Allah dan makin terkenal pula nama pangguron Gunung Jati. Sementara itu kegiatan dagang diserahkan kepada beberapa orang temannya, dimana seluruh waktunya dicurahkan untuk berjuang dijalan Allah SWT.
Diantara kebiasaan yang sering dilakukan Syekh Idlofi di luar waktu dakwah yang selalu diperhatikan oleh santri-santrinya ialah tafakur/ menyendiri di gua di puncak Gunung Jati. Karena itulah maka para santrinya memanggilnya “ Syekh Dzatul Kahfi “ artinya sesepuh yang mendiami gua. Selain sebutan itu, karena bersinar atau siarnya Gunung Jati diluar daerah disebabkan kemuliaan dakwahnya, masyarakat Pasambangan menyebutnya “Syekh Nurjati” artinya sesepuh yang menyinari atau mensyiarkan Gunung Jati.
Berkenaan dengan itu, beliau senantiasa mengamananti setiap santri yang akan meninggalkan pangguron, dengan “Settana” artinya pegang teguhlah semua pelajaran yang diperoleh dari pangguron Gunung jati jangan sampai lepas. Sejak saat itu orang menamakan Kampung Pasambangan dengan nama Settana Gunung Jati. Namun karena pada akhirnya Gunung jati digunakan untuk pemakaman, terutama makam Syekh Dzatul Kahfi sendiri, maka penduduk Jawa Barat yang sebagian besar berbahasa sunda sebutan settana diganti menjadi Astana artinya kuburan. Walaupun demikian, penduduk yang berbahasa jawa seperti Cirebon, Ludamaya dan Losari masih banyak yang menyebutnya Settana. Dengan demikian Kampung Pasambangan yang mencangkup Gunung Jati sampai sekarang dinamakan Kampung atau Desa Astana Gunung Jati.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus