Rabu, 30 November 2011

Linggarjati Tempo Dulu


ASAL USUL DESA SENDE


Di kaki gunung Ciremai ada sebuah pedukuhan namanya pedukuhan Gunung Pala, disebelah selatan Lengkong yang termasuk wilayah Rajagaluh. Disitu Nyi Mawas dan seorang anaknya berada. Tentunya Nyi Mawas sayang kepada anaknya yang satu-satunya itu Kemanapun Nyi Mawas pergi selalu anaknya dibawa serta seolah-olah tidak mau lepas dengan anaknya.

Ketika anaknya menginjak masa remaja dalam hatinya mampunyai keinginan untuk mandiri dan mencari pengalaman lain diluar kehidupan sehari-harinya di Pedukuhan Gunung Pala. Diberanikannya berbicara memohon ijin kepada ibunya, tentang keingnannya itu. Akan tetapi ibunya melarang anaknya peregi meninggalkan pedukuhannya dan meninggalkan ibunya pula. Karena keinginan yang sangat kuat, maka pada suatu, tanpa pamit kepada ibunya pergilah anaknya itu meninggalkan ibunya.

ASAL USUL DESA PURWAWINANGUN


Kira-kira 3 km di sebelah utara pengguron Agama Islam Puser Bhumi Setana Gunung Jati terdapat Pasar Celancang yang padat dengan para pedagang dan pembeli dari bebereapa desa yang berada di wilayah kecematan Kapetakan, Kecamatan Cirebon Utara dan Kecamatan Weru. Dilewati jalur jalan raya Cirebon – Indramayu dan angkutan pedesaan Celancang – Plered.

Sebelum adanya pasar Celancang, di lokasi balai Desa Purwawinangun dulu ada pasar yang dikenal dengan sebutan Pasar Gentong. Karena disitu letak persinggahan para penjual “getak” dengan cara dipikul dari jamblang yang diantaranya barang-barang tersebut adalah gentong, anglo, celengan semar-semaran, padasan dan sebagainya, untuk dijajakan ke daerah lain.Kemudian karena terlalu padatnya dengan para pedagang dan sebelah selatan yang sekarang dikelan dengan sebutan Pasar Celancang.

ASAL USUL DESA PRAJAWINANGUN

Pada abad ke 15 setelah dinobatkannya Syekh Syarif Hidayatullah menjadi sultan kerajaan Carbon 1 oleh Mbah Kuwu Cerbon Pangeran Cakra Buana, penyebaran ajaran Agama Islam semakin pesat, gemanya sampai terdengar di pusat pemerintahan kerajaan Padjajaran sehingga membuat gusar Prabu Siliwangi, Raja Pedjajaran. Namun tiada daya dan upaya karena yang menjadi Sultan kerajaan Islam Carbon dan sekaligus tokoh dalam penyebaran Agama Islam adalah cucunya sendiri, yaitu putra Nyi Mas Rara Santang, sedangkan Nyi Mas Rara Santang adalah putri Prabu Siliwangi dari Nyi Mas Subang Kranjang.

ASAL MUASAL DESA PEGAGAN KAPETAKAN

Sebelum menjadi Desa Pegagan, wilayah ini dahulu kala terdiri dari hutan-hutan dan banyak rawa-rawanya. Karena hutan tersebut dipisahkan olah rawa-rawa dan sungai, maka Sunan Gunung Jati memberi nama wilayah itu Pulau Raja. Kemudian setelah hutan-hutan dibabad dan dibakar maka jadilah hamparan pesawahan yang sangat luas. Oleh penduduk tanah tersebut dijadikan lahan pertanian, disebut Pegagan. Maka bermukim di padukuan, sekarang Desa Dukuh. Melihat kesuburan tanah di Pegagan dan luasnya lahan yang tersedia, maka banyaklah penduduk yang berdatangan untuk ikut menggarap sawah dan ladang. Lambat laun karena banyak yang bermukim di Pegagan tersebut, maka jadilah perkampungan yang disebut kampung Pegagan, asal kata dari Pegagaan.

ASAL USUL DESA GUWA

Ki Baluran yang juga disebut Ki Arga Suta atau Syeh Madunjaya adalah salah seorang putra Pangeran Gesang, demang dari kesultanan Cirebon. Dalam pembagian tanah cakrahan milik orang tuannya yang terletak di sebelah utara perbatasan wilayah Cirebon dan Indramayu, terjadi pertentangan pendapat dengan ketiga saudaranya terutama dengan adiknya Nyi Mertasari. Kedua saudara laki-laki termasuk dirinya berpendapat bahwa anak perempuan cukup mendapat bagian tanah sebesar payung. Pendirian tersebut ditentang Nyi Mertasari, karena menurutnya pembagian tanah harus sama luas.

ASAL USUL DESA GINTUNG TENGAH

Ketika sebagian besar daerah Cirebon masih tertutup hutan belantara, dan ajaran Hindu masih dianut oleh sebagian penduduk Cirebon. Maka pada saat itu pulalah Mbah Kuwu Cirebon dengan dibantu teman dan kerabatnya bersemangat menyebarkan ajaran Islam. Sambil menyebarkan agama tak lupa pula membabat hutan dan membuka pedukuhan-pedukuhan baru.

Tersebutlah nama Kyai Ageng Buyut Membah, seseorang dari Negeri Iraq, yang datang ke Indonesia karena diutus oleh ayahandanya untuk menyebarkan Agama Islam dan memperbaiki akhlaq serta aqidah Bangsa Indonesia khususnya didaerah Cirebon.

ASAL USUL DESA BRINGIN

Desa Bringin adalah salah satu desa dalam wilayah kecamatan Ciwaringin, kabupaten daerah tingka II Cirebon Luas wilayah desa Bringin 226,478 Ha. Dengan mata pencaharian penduduk mayoritas petani, dan beragama islam.

Konon, setelah perang kedongdong berakhir, 40 orang Ki Gede yang ikut berperang akan kembali ke tempat asal masing-masing. Dalam perjalanan pulang mereka beristirahat. Mereka bernaung di bawah pohon bringin yang rindang, dan karena kelelahan mereka tertidur dengan lelapnya. Ketika mereka bangun, ada aura tanpa ujud yang mengatakan bahwa orang yang datang ke tempat itu disebut KI Gede Bringin. Orang yang pertama datang adalah Ki Gede Srangin di kenal dengan sebutan Ki Gede Bringin.

ASAL USUL DESA DUKUPUNTANG

Pada waktu terjadi peperangan antara Mbah Kuwu Cirebon dengan Ratu Rajagakuh, pasukan Mbah Kuwu Cirebon dibagi dua kelompok. Kelompok pertama membentang ke jurusan selatan dengan maksud untuk mencegat datangnya musuh dari Rajagaluh, dan kelompok kedua ke jurusan barat untuk membuat benteng pertahanan/penghalang datangnya musuh lewat Bobos. Pendukuhan bekas pembentangan tersebut dinamakan Puntang
Di negeri seberang, Sultan Bagdad mempunyai empat orang anak yaitu Syarif Durakhman, Syarif Durkhim, Syarif Kaffi, dan Nyi Syarif bagdad. Mereka mempunyai alat kesenian berupa gembyung (terbang) namun ayahnya melarang membunyikannya, bahkan apabila dibunyikan ayahnya terus menerus memarahi mereka. Oleh karena tidak tahan dimarahi ayahnya, bersama pengikutnya keempatnya melarikan diri menuju daerah Cirebon. Pengikutnya itu terdiri dari laki-laki dan perempuan sekitar 1.200 orang ditrmpatkan di puntang.

ASAL USUL DESA SIGONG

Pada masa perkembangan Islam yang pesat di tanah Jawa khususnya di Cirebon yang dimotori oleh Sunan Gunung Jati pada masa itu, tidaklah heran apabila banyak orang yang ingin berguru untuk memperdalam ajaran Islam, karena mereka yakin bahwa Agama Islam merupakan tuntunan bagi umatnya baik untuk di dunia maupun di dalam kelanggengan (akhirat).

Para santri / murid yang sudah pernah berguru pada Sunan Gunung Jati merasa terpanggil untuk ikut serta dalam penyiaran agama Islam di tanah Cirebon sesuai dengan petunjuk dan amanat yang telah ditanamkan kepada seluruh para santri-santrinya selama menimba ilmu yang begitu cukup lama.

ASAL USUL DESA PEJAMBON

Pada waktu para wali mengembangkan agama Islam di tanah Jawa khususnya di daereah Cirebon masih banyak pedukuhan-pedukuhan yang belum masuk Islam diantaranya padukuhan Dawuan dan padukuhan Pejambon.

Mendengar bahwa para wali di Cirebon menyebarkan agama Islam, akhirnya Ki Gede Dawuan mengajak Ki Gede Pejambon yang bernama Ki Marsiti untuk menyerang Cirebon. Mbah Kuwu Cirebon yang mendengar laporan bahwa Ki Gede Pejambon akan menyerang Cirebon, kemudian memerintahkan untuk Ki Sumerang yang dikenal dengan nama Ki Gede Bayulangu untuk menghadapi serangan Ki Gede Dawuan dan Ki Gede Pejambon.

ASAL USUL DESA GALAGAMBA

Pada sekitar tahun 1400-an disebuah kaki Gunung Kromong. Ada sebuah hutan belantara yang banyak dihuni oleh para dedemit dan berbagai binatang yang buas seperti macan, celeng dan sebagainya.
Disuatu tempat yang disebut Rajagaluh ada Kasatria bernama Kiwinata yang mempunyai badan yang tegap dan penuh dengan sopan santun dan juga sangat sakti. Ki Winata kemudian membangun sebuah gubug dan dijadikannya sebagai tempat tinggal, tidak hanya itu beliau juga membuat balai dari kayu jati yang sangat besar sekali untuk tempat menjamu tamu. Semakin hari tempat tersebut menjadi sangat terkenal, kemudian semakin ramai. Ramainya tempat tersebut akhirnya mengundang perhatian dan Raja Pajajaran yang bernama Prabu Siliwangi. Akhirnya Raja Prabu Siliwangi tersebut datan dengan rombongan untuk mengunjungi tempat tersebut. Ketika tiba ditempat tersebut maka disambutlah sang raja.

ASAL-USUL DESA KALIWEDI

Ki Surya angkasa adalah Putera dari istri selir Prabusiliwangi yang datang merantau dari Garit (pajajaran) untuk mencari saudaranya Walang sungusang (Ki Kuwu Sangkan) dan Nyimas Lara Santang sedang menuntut ilmu di Cirebon ketika singgah di Astanya Pura, Ia mendapatkan ilmu aji “Bandung Bandawoso” kemudian menuju kawasan hutan yang didalamnya  terdapat sebuah sungai yang penuh dengan pasir disebelah barat laut untuk babat hutan dan dijadikan “KALIWEDI”. “Kali” artinya sebuah sungai, “Wedi” dalam bahasa jawa pasir. Ia kemudian dikenal dengan nama Ki GEDE kaliwedi.

ASAL USUL DESA BAKUNG

Dalam penyamarannya Ki Kuwu Cirebon di Gunung Kumbang, tinggal di blok Ardi Lawet bergelar Abujangkrek. Disitu Ki Kuwu memiliki dua orang putra yaitu seorang laki-laki bernama Sela Rasa dan perempuan bernama Sela Rasi.



Dijaman itu Ki Kuwu memasuki daerah Telaga, bertemu dengan seorang bernama Ki Wanajaya. Ki Wanajaya di telaga adalah seorang yang sakti mandraguna, di Telaga itu belum ada tandingannya. Dalam pertemuannya dengan Ki Kuwu, terjadilah selisih paham hingga terjadi perkelahian. Perkelahian dua orang sakti itu terjadi lama sekali, masing-masing mencari kelemahan lawannya. Tetapi belum seorangpun yang menunjukkan kelemahan untuk dapat dirobohkan salah seorang diantaranya.

ASAL-USUL DESA ARJAWINANGUN

Alam pengembaraannya untuk mencari dan memperdalam agama islam, dua orang Padjajran Raden Walang Sungsang dan adiknya Nyi Rarasantang
Sampai ke Mesir menunaikan ibadah haji. Raden Walang sungsang pulang ke Cirebon dengan sebutan Haji Abdullah Iman, sedangkan Nyi Rarasantang tetap berada di Mesir karena telah bersuamikan Syarif Abdullah seorang Raja Mesir. Berputra dua oranng yaitu Syraif Hidayahtullah dan Syarif Nurullah. Tidak lama kemudian setelah Syarif Hidayatullah dilahirakan, ayahandanya wafat.

KERAJAAN INDRAPRAHASTA

Diperkirakan berdiri tahun 363 – 723 Masehi, lokasi keratonnya meliputi Desa Sarwadadi Kecamatan Sumber (sekarang). Wilayahnya meliputi Cimandung, Kerandon Cirebon Girang di Kecamatan Cirebon Selatan. Raja pertamanya Resi Santanu dari lembah Sungai Gangga, datang ke pulau Jawa sebagai pelarian setelah kalah perang melawan Dinasti Samudra Gupta dari kerajaan Magada.
Resi Santanu menikahi Dewi Indari putri bungsu Rani Spati Karnawa Warman Dewi, Raja Slakanagara yang ibukota kerajaannya di Rajatapura, Pandeglang sekarang. Wilayah kerajaan Indraprahasta diperkirakan sebelah Barat Cipunegara, sebelah Timur sungai Cipamali, sebelah Utara Laut Jawa, sebelah Selatan tidak ada catatan yang jelas.

Muludan

Muludan artinya merayakan mulud yang berasal dari bahasa arab Maulid yang artinya kelahiran. Bulan ini adalah kelahiran Kanjeng Rasulullah Muhammad saw pada tanggal 12 Robi'ul Awal. Bulan Mulud adalah bulan ke tiga dalam perhitungan kalender Islam Jawa. Di bulan ini biasanya ramai terutama di pusat pemerintahan dijaman Kasultanan Cirebon.
Sperti di kraton-kraton lainnya di tanah Jawa, di Cirebon juga diadakan acara yang dinamakan Grebeg Mulud yang lebih dikenal dengan sebutan "Panjang Djimat". Acara ini diadakan oleh tiga Keraton, yaitu Kasepuhan , Kanoman, Kacirebonan pada tepat tgl 12 Mulud. Acara ini cukup cukup menarik perhatian masyarakat terutama masyarakat di sekitar kota Cirebon.

Wulan Sapar (Saparan)

Saparan atau Safar adalah bulan ke dua dalam perhitungan kalender Islam Jawa. Bulan ini di percaya masyarakat adalah bulan musim kawin hewan, atau khewan sing pada kawin seperti anjing (asu), sehingga di bulan ini sebaikanya tidak dilakukan acara pernikahan atau masyarakat Cirebon mengenal bulan larangan untuk melakukan pernikahan. Disamping itu juga bulan sapar dikenal dengan bulan yang sering terjadi malapetaka atau wulan sing akeh sial (blai) khususnya hari rabu terakhir di bulan ini atau orang Cirebon mengenal dengan istilah "Rebo Wekasan". Asal usul keyakinan ini juga belum jelas tapi dari beberapa sumber yang di yakini masyarakat bahwa si hari rabu terakhir di bulan Sapar ini lah banyak terjadi bala. Sehingga di percaya untuk mencegah bala ini kita di anjurkan melakukan sholat 4 rokaat dengan bacaan surat Al-kautsar sebanyak 17 kali di rokaat pertama, Surat Al-Ikhlas sebanyak 5 kali di rokaat ke dua, Surat Al-Falaq di rokaat ke tiga dan Surat An-nas di baca satu kali di rokaat yang ke empat dan di akhiri dengan membaca do'a Asyura.

Sura (Muharram) berkenaan dengan Hari jadi Kota Cirebon

Di Cirebon Sura berdasarkan hari pertama ke sepuluh di bulan Muharam yang juga bertepatan dengan Tahun baru Jawa dan Tahun baru Islam. Kota Cirebon sendiri hari Jadinya bertepatan dengan 1 Sura 1445. Peringatan Tahun baru Islam dan juga hari jadi Cirebon biasanya di rayakan oleh masyarakat Cirebon khususnya keluarga dari Keraton dengan mengadakan acara "Memaca Babad Cirebon" dan juga ada prosesi tertentu di Komplek Makan Sunan Gunung Djati (Gunung Sembung). Biasanya Pemerintah beserta masyarakat setempat mengadakan upacara selamatan berupa festival kebudayaan Cireboon, pameran dan lain-lain.

Panjang Djimat

UPACARA pelal Panjang Jimat sendiri merupakan puncak dari seluruh rangkaian berbagai acara tradisi yang berlangsung di Keraton Kesultanan Kasepuhan, Keraton Kesultanan Kanoman, dan Keraton Kacirebonan. Pelal adalah kata dalam bahasa Jawa Cirebon yang berarti ujung atau akhir.
Seperti daerah lainnya di Pulau Jawa yang memiliki akar budaya tradisi di keraton, peringatan Muludan di Cirebon juga digelar secara meriah sejak sebulan sebelumnya dalam bentuk pesta rakyat dan pasar malam di alun-alun setiap keraton.

Pecahnya Kasultanan Cirebon

Sejarah Kesultanan di Cirebon diawali dari pertumbuhan dan perkembangan kesultanan yang dibangun oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati (1478-1598). Setelah Sunan Gunung Jati wafat, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan Gunung Jati ialah Pangeran Dipati Carbon, putra Pangeran Pasarean, cucu Sunan Gunung Jati. Namun, Pangeran Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun 1565. Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.

Gado – Gado Ayam


Ini juga salah satu makanan khas Cirebon. Tampilannya agak berbeda dengan gado-gado yang pada umumnya diketahui masyarakat, karena ayam suir menjadi dominan. Gado-gado ayam tampil dengan ciri khas makanan Cirebon yaitu kuah kaldu.
Isinya layaknya gado-gado seperti kentang, kol, toge, irisan telur dan tentu saja suir daging ayam yang banyak. Semuanya lalu disiram bumbu kacang seperti gado-gado biasa, namun lalu disiram lagi dengan kuah kaldu. Gado-gado dihidangkan dengan taburan krupuk di atasnya.

ASAL- USUL DESA TRUSMI


Pada Waktu Mbah kuwu Cirebon yang bernama Pangeran Cakrabuana hijrah dari Cirebon ke sebuah Daerah yang sekarang disebut Trusmi, mbah Kuwu Cirebon berganti pakaian memakai baju kyai yang tugasnya menyebarkan ajaran agama Islam. Hingga sekarang ia dikenal dengan nama Mbah Buyut Trusmi.

Senin, 28 November 2011

Asal Usul Desa Sindang Laut

 PG Sindang Laut 

Desa Sindang Laut adalah salah satu desa tertua di Cirebon. Hal ini didasarkan kepada pertimbangan bahwa leluhur masyarakat Sindanglaut sudah ada sejak dahulu sebelum berdiri Kerajaan Caruban/Cirebon, yang menurut sistem zaman para wali disebut Zaman Dupala.
Sebelum agama Islam berkembang, Desa Sindanglaut ini dahulunya merupakan suatu pedukuhan yang bernama Pedukuhan "Dukuh Awi". Dukuh artinya daerah atau tempat atau kediaman, dan Awi (Bahasa Sunda) artinya bambu. Jadi "Dukuh Awi" berarti daerah berbambu/tempat tumbuhan bambu. Nama tersebut berkaitan dengan keadaan alam di Sindanglaut yang memang sampai saat ini banyak terdapat tanaman bambu/awi yang jenisnya bermacam-macam.

Asal Usul Desa Gebang


Pangeran Wirasuta adalah putra Pangeran Pasarean, Putra mahkota kesultanan Cirebon. Menjelang usia tua, Pangeran Wirasuta menetap disekitar pantai Laut Jawa bersama putranya yang gagah dan cakap bernama Suta bergelar Pangeran Sutajaya Wira Upas.
Pangeran Sutajaya mendapat tugas dari Sultan Cirebon untuk membabad alas roban, hutan yang terkenal sangat angker karena banyak dedemitnya. Pelaksanaan tugas tersebut dibantu oleh pusakanya yaitu sebuah keris yang bernama Setan Kober dan dibantu pawongan dari bangsa jin yang bernama si Lorod. Konon si Lorod bukan tunduk kepada Pangeran Sutajaya, tetapi taku kepada pusaka keris Setan Kober.

Kereta Kencana Paksi Naga Liman


Kereta kencana Paksi Naga Liman adalah kereta kencana milik Keraton Kanoman, Cirebon, Jawa Barat. Dulu, kereta ini digunakan raja Keraton Kanoman untuk menghadiri upacara kebesaran. Selain itu, kereta ini juga digunakan untuk kirab pengantin keluarga Sultan Kanoman. Kereta tersebut diperkirakan dibuat tahun 1608 berdasarkan angka Jawa 1530 pada leher badan kereta yang merupakan angka tahun Saka. Sejak tahun 1930, kereta ini tidak digunakan dan disimpan di museum Keraton Kanoman; sedangkan yang sering dipakai pada perayaan-perayaan merupakan kereta tiruannya.

Asal Usul Desa Sumber (Ibukota Kabupaten Cirebon)

Sekitar abad XV disuatu daerah yang sekarang dinamakan Desa/Kelurahan Sumber, terdapat sekelompok masyarakat yang menganut agama sanghiang dibawah kekuasaan Kerajaan Galuh. Namun setelah tokoh-tokoh dari Cirebon datang ke daerah ini untuk menyebarkan agama Islam, sebagian dari mereka tertarik, dan kemudian menganut Islam. Sementara yang tidak tertarik pergi meninggalkan Sumber.

Pemberontakan Cirebon 1818


Penulis :
Buku ini berjudul asli “De Cheribonsche Ounlsten van 1818, Naar Oorpronkelijke Stukken” yang ditulis oleh P. H Van der Kemp. Sebenarnya buku ini merupakan catatan-catatan asli dari P. H. Van Kemp yang ikut menumpas pemberontakan di Cirebon. Pada tahun 1979, buku tersebut diterjemahkan oleh B. Panjaitan dengan judul “Pemberontakan Cirebon Tahun 1818” dan diterbitkan di Jakarta oleh Yayasan Idayu.