Pada abad ke 15 setelah dinobatkannya Syekh Syarif Hidayatullah menjadi sultan kerajaan Carbon 1 oleh Mbah Kuwu Cerbon Pangeran Cakra Buana, penyebaran ajaran Agama Islam semakin pesat, gemanya sampai terdengar di pusat pemerintahan kerajaan Padjajaran sehingga membuat gusar Prabu Siliwangi, Raja Pedjajaran. Namun tiada daya dan upaya karena yang menjadi Sultan kerajaan Islam Carbon dan sekaligus tokoh dalam penyebaran Agama Islam adalah cucunya sendiri, yaitu putra Nyi Mas Rara Santang, sedangkan Nyi Mas Rara Santang adalah putri Prabu Siliwangi dari Nyi Mas Subang Kranjang.
Melihat kenyataan ini Prabu Cakraningrat, Raja Kerajaan Galuh Pakuan, kerajaan bawahan dari Kerajaan Padjajaran amat sangat geream dan langsung memerintahkan pasukannya untuk mengadakan penyerangan untuk melumpuhkan kekuatan Kerajaan Islam Cirebon.
Mbah Kuwu Cerbon dengan ilmu kesaktiannya weruh sadurunge winara (mengetahui sebelum kejadian). Dapat memprediksi titik kelemahan dari Prabu Cakraningrat. Beliau menyarankan kepada Sunan Gungung Jati untuk memboyong putri Prabu Cakraningrat yang merupakan sekar kedaton Kerajaan Galuh Pakuan untuk dijadikan garwa sehir. Maka diperintahkanlah Ki Patih Semi untuk memboyong Sekar Kedaton Kerajaan Galuh Pakuan.
Dengan menggunakan ilmu Sirep, Ki Patih Semi berhasil masuk ke Kenyapuri (tempat kediaman putri raja tanpa di ketahui oleh siapapun termsuk pasukan Galuh Pakuan karena mereka tertidur pulas kena pangaruh ilmu Sirep Ki Patih Semi Suasana hening dan sepi tanpa seorangpun yang terjaga sehingga Ki Patih Semi dengan leluasa masuk kedalam tempat peradaan Sang Sekar Kedaton, kemudian Sang Putri berhasil diboyong oleh Ki Patih Semi.
Beberapa saat Kemudian mereka tersadar para dayang merasa terkejut melihat kenyataan di tempat tidur Sang Putri kosong Akhirnya mereka melapor ke Baginda Raja. Prabu Cakraningrat amat sangat murka mendengar laporan para dayang kemudian beliau memerintahkan seluruh pasukan Kerajaan Galuh untuk menangkap durjana yang memboyong Putri Raja.
Di luar keraton mereka menemukan sang duriana yang sedang berlari memboyong Putri Raja yang tidak lain adalah Ki Patih Semi, seorang patih kerajaan Islam Cerbon. Mereka mengepung Ki Patih Semi, maka terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Ki Patih Semi yang seorang diri dengan pasukan kerajaan Galuh.
Mengukur kemampuan yang ada pada dirinya dan mengangkat posisi yang tidak menguntungkan karena berperang sambil menggendong Sang Putri, maka dengan menggunakan ilmu peringan, tubuh Ki Patih Semi berlari dengan amat kencangnya, sehingga tidak dapat terkejar oleh ratusan pasukan Kerajaan Galuh.
Di perjalanan Ki Patih Semi bertemu dengan Ki Gede Suro Oleh Ki Gede Suro disarankan untuk kembali ke Kerajaan Galuh untuk menumpas pasukan Kerajaan Galuh, supaya aman dan mereka tidak akan menyerang Kerajaan Islam Cerbon.
Atas saran Ki Gede Suro, Ki Patih Semi kembali ke kereajaan Galuh, sedangkan Sang Putri di titipkan kepada Ki Gede Suro. Oleh Ki Gede Suro Putri itu di tempatkan di sebuah gubug di tengah-tengah telaga. Kemudian selanjutnya Putri itu di boyong oleh Ki Gede Suro untuk di persembahkan kepada Sultan Carbon, melewati suatu daerah. Maka daerah itu selanjutnya disebut Desa Suro Boyong (Suro=nama pelaku, boyong=memboyong putrid). Oleh masyarakat kemudian disebut Desa Srombyong.
Pada tahun 1916 semasa Pemerintahan Hindia Belanda dua desa bertetangga yakni Desa Srombyong dan Desa Blendung di marger menjadi satu desa. Pada waktu itu yang menjadi Wedana Arjawinangun adalah Wangsa Praja. Oleh Wedana nama desa tersebut diganti menjadi Prajawinangun (Praja=nama belakang wedana, Winangun=bertegas di kawedanan Arjawinangun).
Karena semakin banyak penduduknya, maka dengan pertimbangan untuk mempercepat laju pembangunan, peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan untuk pemerataan hasil-hasil pembangunan, maka pemerintah Daerah pada tahun 1983 memekarkan Desa Prajawinangun menjadi dua desa, yakni, Desa Prajawinangun Wetan dan Prajawinangun Kulon.
Nama-nama Kepala Desa Prajawinangun Wetan yang di ketahui :
1. Sarah : 1901 – 1913
2. H. Sidik : 1913 – 1916
3. Yakyah : 1916 – 1923
4. Tsabit : 1923 – 1924
5. Baleg : 1924 – 1932
6. Nursari : 1932 – 1935
7. H. Nasikin : 1935 – 1936
8. Sanyar : 1936 – 1945
9. Sokami : 1945 – 1950
10. Kadmita : 1950 – 1967
11. H. S. Maertha : 1967 – 1988
12. Djatmira : 1988 – 1999
13. Suyanto : 1999 – 2001
14. Toni : 2003
Sumber : http://vanhellsink.blogspot.com/2010/09/prajawinangun.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar