Pangeran Sutajaya
Upas dari gebang sering berburu ( Bhs. Sunda: Bebedil) di suatu
tempat/hutan yang belum berpenghuni yang banyak ditumbuhi pohon kesambi sambil
membuat pesanggarahan. Daerah/hutan yang belum berpenghuni itu oleh Pangeran
Sutajaya diberi nama Pabedilan, sesuai dengan arti twmpat itu (untuk
berburu/bebedil).
Setelah beberapa waktu lamanya muncullah didaerah itu
seorang yang bernama Ki Batisari berasal dari Luragung. Karena daerah Pabedilan
telah berpenghuni walaupun belum banyak, maka Ki Batisari ditetapkan menjadi
pemimpin/kuwu oleh Pangeran Cirebon, yang daerahnya meliputi sampai ke Desa
Balagedog.
Rupanya jabatan kuwu itu dikehendaki pula oleh saudaranya Ki
Buyut Batisari yang bernama Ki Rendot. Ki Buyutsari tidak menghendaki adanya
perebutan kekuasaan, ia memilih mengalah dan kekuasaan diberikan kepada Ki
Rendot. Ternyata jabatan Ki Rendot hanya sebentar saja, karena ia membangkang
terhadap tugas dari Pangeran Cirebon, sehingga pihak penguasa Cirebon
memberhentikannya dan mengangkat kembali Ki Batisari sebagai kuwu Pabedilan hingga
memerintah dalam waktu yang cukup lama.
Pada waktu Belanda
datang terjadi perundingan antara Belanda dan Ki Batisari mengenai sewa
pembuatan jalan umum dan jalan kereta api. Sejak itu Pabedilan terbagi tiga,
yakni menjadi Desa Pabedilan Wetan , Pabedilan Kulon dan Balagedog, yang
masing-masing dipimpin oleh seorang kuwu.
Setelah Ki Batisari meninggal dunia terjadilah perubahan
cara pergantian jabatan kuwu. Seorang kuwu tidak begitu saja diangkat, melainkan dipilih langsung oleh rakyat atau sebelumnya diadakan
kodrah umbuhan. Kebiasaan tersebut berlaku turun temurun hingga sekarang. Makam
Ki Buyut Batisari dianggap keramat, sering dikunjungi dan dijadikan tempat
menyepi setiap malam Jum’at Kliwon. Sebagian masyarakat Pabedilan sangat
tabu/pamali/ipat-ipat/larangan memakan ikan lele, burung tekukur dan daging entog/itik.
keren
BalasHapus