Sebenarnya Daendels melakukan intervensi terhadap kekuasaan kesultanan di Jawa, yakni: Kesultanan Banten, Cirebon (Kanoman dan Kasepuhan), Yogyakarta dan Surakarta (Vorstenlanden). Namun, sesuai dengan tema seminar ini, hanya akan dibahas hubungan Daendels dengan Kesultanan Banten dan Cirebon.
Hubungan antara Daendels dan raja Banten bermula dari rencana pembuatan pelabuhan dan jalan raya di Ujung Kulon. Ribuan pekerja dikerahkan untuk membuat jalan dan pelabuhan itu. Dalam pekerjaan ini terjadi banyak korban manusia baik yang berasal dari kalangan pribumi maupun dari kalangan orang Eropa, karena tanahnya banyak yang berupa rawa-rawa. Untuk melanjutkan proyek itu Daendels meminta kepada Sultan Banten saat itu, untuk menyediakan tenaga baru dari Banten. Sultan Banten menolak permintaan itu mengingat banyaknya korban yang sakit dan mati karena penyakit. Daendels tidak bisa menerima alasan tersebut, kemudian mengirimkan utusannya yang bernama Komandan Du Puy untuk mendesak Sultan Banten agar bersedia mengirimkan rakyatnya. Du Puy diserang dan dibunuh. Keadaan ini membuat Daendels marah, sehingga ia memutuskan untuk menyerang Banten. Sultan Banten menyerah dan diasingkan ke Ambon, sementara pemerintahan diserahkan kepada putra mahkota (Murdiman: 1970:14).
Kondisi di Cirebon berbeda sekali dengan kondisi di Banten. Pada akhir abad ke-18, di kraton-kraton Cirebon cukup kacau akibat konflik di dalam kraton. Sultan Sepuh yang memerintah dari tahun 1781 dikabarkan sakit ingatan, sehingga tidak mampu untuk menjalankan pemerintahan. Selanjutnya, untuk menjalankan pemerintahan di kraton dilakukan oleh beberapa adipati. Ketika sultan wafat pada tahun 1787, ia digantikan oleh penggantinya yang kemudian pada tahun 1791 meninggal juga secara mendadak. Sementara itu putranya yang diharapkan menggantikannya usianya masih sangat muda. Akibatnya, pemerintahan di dalam kraton diserahkan kepada walinya hingga tahun 1799. Kondisi kraton menjadi sangat kacau ketika putra Sultan yang dulu dibuang ke Maluku melakukan pemberontakan. Ia ditangkap dan dibawa ke Batavia. Sementara itu Sultan Kanoman meninggal tahun 1798. Namun, yang menggantikan bukan putra mahkota, melainkan orang lain. Hal ini mengakibatkan kekacauan sehingga banyak orang Cina terbunuh. Akibat kerusuhan ini putra mahkota Kanoman ditangkap dan dibawa ke Batavia karena dianggap mendalangi kerusuhan itu. Ribuan rakyat protes ke Batavia, tetapi bisa dihalau di Krawang. Akibat dari kejadian ini semua, putra mahkota Kanoman dibuang ke Ambon. (Lubis, 2000: 45—47)
Pada masa Daendels menjadi gubernur jenderal, raja Kanoman dikembalikan ke Cirebon atas desakan para tokoh agama. Raja Kanoman diberi 1000 cacah milik Panembahan Cirebon yang telah lama wafat (1773). Raja Kanoman diijinkan untuk membangun kembali Kraton Kacirebonan yang telah dibubarkan pada tahun 1768. Dengan demikian di Cirebon terdapat tiga kraton, yakni Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. Oleh Daendels para penguasa kerajaan tidak diijinkan menggunakan sebutan sultan lagi, melainkan menggunakan sebutan pangeran.
Sumber : http://ceritarakyatnusantara.com/id/article/22-daendels-dalam-naskah-dan-cerita-rakyat-cerita-yang-berkaitan-dengan-daendels-di-pantai-utara-jawa
Sumber : http://ceritarakyatnusantara.com/id/article/22-daendels-dalam-naskah-dan-cerita-rakyat-cerita-yang-berkaitan-dengan-daendels-di-pantai-utara-jawa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar