DARI CIREBON: Mohamad Bondan, tokoh kelahiran Cirebon
yang memiliki peran besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
ISTIMEWA/RADAR CIREBON
JALAN yang memanjang dari arah utara ke selatan pesisir Kota Cirebon itu kini masih mengesankan adanya getar kepahlawanan. Jalan itu bernama Jl Kapten Samadikun. Agak menikung ke arah barat, terdapat jalan kecil menuju Taman Makam Pahlawan (TMP) Kesenden. Di situlah Letnan Satu (Laut) Samadikun dimakamkan. Karena jasanya pangkatnya dinaikkan satu tingkat menjadi Kapten (Laut).
Kisah kepahlawanan ini dimulai 5 Januari 1947 terjadi perlawanan Kapal Gajah Mada di perairan Cirebon. Sebuah “coaster” berukuran 150 ton, berasal dari Singapura diubah bentuknya menjadi sebuah kapal perang dengan nama Gajah Mada, dan dijadikan kapal pimpinan ALRI Pangkalan III Cirebon.
Pada 1 Januari sampai dengan 5 Januari 1947 Kapal Laut Gajah Mada memimpin latihan gabungan ALRI di bawah komandannya Letnan I Samadikun dengan angkatan darat di perairan Cirebon. Dalam latihan itu ikut pula empat buah kapal patroli pantai.
Pada 5 Januari 1947 pukul 06.00 ketika iring-iringan kapal berlayar ke arah utara, di tengah jalan berpapasan dengan sebuah kapal buru torpedo Belanda, HMS Kortenaer yang memberi isyarat agar iring-iringan kapal tersebut berhenti. Isyarat itu tak diindahkan, oleh karena itu kapal Belanda melancarkan serangan.
Untuk menghindarinya, Samadikun memerintahkan kapal patroli pantai mengundurkan diri ke arah barat. Kapal Gajah Mada memutar haluan untuk menghadapi kapal musuh dan melancarkan tembakan balas dengan senapan mesin berat. Dalam tembak menembak itu sebuah peluru meriam musuh jatuh mengenai mesin kapal Gajah Mada. Kapal terbakar dan tenggelam. Samadikun gugur.
Sepuluh bulan sebelum peristiwa heroik itu, Pemerintah Republik Indonesia sepakat mengadakan Perundingan Linggajati (Linggarjati) yang didahului oleh perundingan di Hoge Veluwe, Negeri Belanda, dari tanggal 14 sampai 24 April 1946, berdasarkan suatu rancangan yang disusun oleh Sjahrir, Perdana Menteri dalam Kabinet Sjahrir II (Ali Budiardjo: makalah 1991).
Sebelumnya, yakni pada tanggal 10 Februari 1946, sewaktu Sjahrir menjabat Perdana Menteri dalam Kabinet Sjahrir I, Van Mook telah menyampaikan pada Sjahrir rencana Belanda, yang berisi pembentukan Negara Persemakmuran (commonwealth) Indonesia, yang terdiri atas kesatuan-kesatuan yang mempunyai otonomi dari berbagai tingkat. Negara Persemakmuran menjadi bagian dari Kerajaan Belanda. Bentuk politik ini hanya waktu terbatas. Setelah itu peserta dalam kerajaan dapat menentukan apakah hubungannya akan dilanjutkan berdasarkan kerjasama yang bersifat sukarela (Ali Budiardjo, 1991).
Sejak 10 November 1946 di Linggajati (Linggarjati), dekat Cirebon, dilangsungkan perundingan antara pemerintah RI dengan komisi umum Belanda. Perundingan yang dipimpin Lord Kiliearn, menghasilkan suatu persetujuan. Tanggal 15 November, naskah persetujuan tersebut diparaf kedua belah pihak. Pokok-pokoknya adalah Pertama, Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa dan Madura. Belanda sudah harus meninggalkan daerah de facto paling lambat tanggal 1 Januari 1949. Kedua, Republik Indonesia dan Belanda akan bekerjasama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu Negara bagiannya adalah RI.
Ketiga, RIS dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia – Belanda dengan Ratu Belanda selaku ketuanya. Keputusan Perjanjian Linggajati (Linggarjati), ternyata kemudian tidak ditaati pihak Belanda, bahkan infanteri Belanda melakukan agresi militer (clash I) ke Cirebon dan Kuningan pada tanggal 21 Juli 1947. Rute penyerangan militer Belanda melalui Cirebon-Gebang-Babakan-Waled-Cidahu-Lebakwangi-Garawangi dan Kuningan.
Proklamasi di Alun-alun Kejaksan
Tak semua orang tahu, proklamasi dibacakan sebelum 17 Agustus 1945 di Alun-alun Kejaksan. Tokohnya adalah Dokter Soedarsono, salah seorang dokter di Rumah Sakit Oranye (saat ini RSUD Gunung Jati). Ayahanda dari Prof DR Juwono Soedarsono (mantan Menteri Pertahanan era Soeharto) itu merupakan pejuang pada ranah politik di bawah Sutan Sjahrir. Ia membacakan teks proklamasi versi Sjahrir pada 15 Agustus 1945.
Menurut sejarawan Cirebon, Nurdin M Noer, sejarah rupanya telah melupakan Cirebon sebagai basis perjuangan pada 1945. Padahal Cirebon memiliki segudang pahlawan dan perlawanan bahkan sebelum Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) dimulai.
Dalam catatan Van der Kemp misalnya, Perang Kedondong (1818), suatu perang besar perlawanan rakyat Cirebon melawan penjajah Belanda yang dipimpin seorang tokoh ulama terkemuka di Jawa Barat asal Cirebon Kyai (Ki) Bagus Rangin dan dimotori para santrinya. Perang yang berpusat di Desa Kedondong Kecamatan Susukan, Kabupaten Cirebon, ini banyak menguras energi pemerintah kolonial Belanda.
“Dalam sejarah perang kemerdekaan, wilayah Cirebon tercatat sebagai salah satu basis perjuangan. Banyak peristiwa heroik yang terjadi di Cirebon dan sekitarnya. Tapi sayangnya, banyak catatan yang menjadi bukti sejarah tersebut hilang dan tidak diketahui lagi keberadaannya,” ujarnya. (sumber: Budayawan Nurdin M Noer/mik)
Sumber : Radar Cirebon.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar