Pengambilan sumpah RAA Wiranatakusumah sebagai wali Negara Pasundan, 26 April 1948.
Sumber: 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949
DI tengah pergolakan dan upaya pemecahbelahan
Republik Indonesia oleh pihak Belanda, pada hari Rabu 21 Juli 1947,
Belanda menyerbu Cirebon. Pada hari Jumat 23 Juli 1947 tersiar berita,
PRP (Partai Rakjat Pasoendan) Kartalegawa telah siap hendak mengadakan
rapat umum di Alun-alun Kejaksan.
Orang-orang partai telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan, seperti terjadinya penangkapan dan pembunuhan-pembunuhan terhadap kaum Republik di Bogor yang dilakukan Mr Kustowo, tangan kanan Kartalegawa (Soesilo, Perdjoangan Masa Pendudukan dalam Buku Peringatan 50 Tahun Kota Besar Tjirebon, 1956).
Sejarawan Cirebon, Nurdin M Noer, menuturkan, dalam catatan Soesilo menjelaskan Sultan Kanoman juga menuntut hak kekuasaannya atas daerah ini dan yang tak mau menerima PRP hendak membentuk PRT (Partai Rakjat Tjirebon). Untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan, rapat umum Kartalegawa oleh Recomba tidak diizinkan di Alun-alun Kejaksan dan dilangsungkan di Palimanan.
“Rapat umum dipimpin Muksin, pembantu Kartalegawa yang setia. Demikian pula gerakan Kartalegawa di daerah Cirebon untuk sementara dilarang, sehingga Cirebon terhindar dari penangkapan dan pembunuhan pihak PRP pimpinan Kartalegawa,” tuturnya.
Negara Pasoendan diproklamasikan oleh Soeria Kartalegawa pada 4 Mei 1947 di Alun-alun Bandung. Kartalegawa adalah Ketua Partai Rakjat Pasoendan. Pada 16 Februari hingga 5 Maret 1948 “Negara Jawa Barat” atau “Negara Pasoendan” secara resmi dinyatakan berdiri. RAA Wiranatakusumah dipilih menjadi Wali Negara dan dilantik pada 26 April 1948 (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1975).
Adanya pembentukan Negara Pasoendan, kata Nurdin, mendorong kaum Republik yang dipelopori Mustopa, Patih Bakri dan Dr Toha mengeluarkan satu resolusi yang menentang pembentukan negara tersebut. Resolusi itu ditandatangani puluhan orang-orang terkemuka Cirebon. Akibat dari resolusi dan gerakan plebisit ini, Dr Toha dan Mustopa diusir dari Cirebon, sedangkan Patih Bakri dan Sulwan mendekam beberapa bulan di Penjara Kesambi dan pada akhirnya mereka dengan paksa meninggalkan Cirebon dan dikirim ke Yogya (Soesilo, 1956).
“Sejarah Kota Cirebon membuktikan, jiwa Republiken tak hanya terbatas pada kaum lelaki saja, tetapi juga kaum wanitanya. Menjelang persetujuan Renvielle, di Cirebon dibentuk Panitia Penyambutan yang bertugas menghibur tentara kita, yang hendak dihijrahkan meninggalkan Cirebon,” terangnya.
Pada saat masuknya Negara Pasoendan ke Republik Indonesia, maka bagi Kota Cirebon dengan sendirinya berlaku Undang-Undang No 22 Tahun 1948 yang mengatur pokok-pokok tentang pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Melalui Undang-Undang No 16 Tahun 1950, maka Kota Cirebon ditunjuk sebagai daerah otonom Kota-Besar Cirebon.
Apa isi hak otonomi pada masa itu? Moh Sjafei (1956) menjelaskan, rentetan urusan rumahtangga dan kewajiban-kewajiban lain disebut dan diperinci secara enumeratief dalam Undang-Undang No 16 tahun 1956 tadi. Akan tetapi pada kenyataannya, hak otonomi Kota Besar Cirebon yang dimiliki itu berisi tidak lebih dari tugas-tugas yang diberikan pada waktu daerah otonom Kota Cirebon baru dibentuk dalam tahun 1906, dengan ditambah tugas kesehatan pada akhir 1955 yang diserahkan secara nyata.(mik)
Sumber : Radar Cirebon.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar