Senin, 28 November 2011

Pemberontakan Cirebon 1818


Penulis :
Buku ini berjudul asli “De Cheribonsche Ounlsten van 1818, Naar Oorpronkelijke Stukken” yang ditulis oleh P. H Van der Kemp. Sebenarnya buku ini merupakan catatan-catatan asli dari P. H. Van Kemp yang ikut menumpas pemberontakan di Cirebon. Pada tahun 1979, buku tersebut diterjemahkan oleh B. Panjaitan dengan judul “Pemberontakan Cirebon Tahun 1818” dan diterbitkan di Jakarta oleh Yayasan Idayu.
Metode Penulisan :
Deskriptif naratif, dimana pada buku yang berjudul Pemberontakan Cirebon Tahun 1818 ini, P. H. Van Der Kemp mendeskripsikan keadaan Cirebon pada masa pemberontakan tahun 1818. Dalam buku ini juga dideskripsikan sebab-sebab pemberontakan, cara mengatasi pemberontakan dan akhir dari pemberontakan tersebut.

Corak Penulisan :
Eropasentris atau Neerlandosentris, dimana dalam buku ini berisi tentang kejadian yang terjadi Indonesia menurut sudut pandang Eropa yang berada di Indonesia. Dalam buku ini, P. H. Van der Kemp menganggap bahwa pemberontakan yang dilakukan oleh golongan pribumi akan mengganggu kekuasaan Belanda di Cirebon. Oleh sebab itu, Van der Kemp menumpas pemberontakan-pemberontakan tersebut.

Isi Penulisan :
Pemerintahan raja-raja di Cirebon dari zaman VOC (Kumpeni) menjadi sumber kemelaratan dan kekacauan. Oleh karena itu, pada tahun 1792, J. L. Umbgrove selaku residen berpendapat: “Dipandang perlu untuk mengurangi jumlah pangeran dan ratu (mereka itu tidak berperikemanusiaan dan tak dapat dipakai) dan mengubah fungsi mereka menjadi abdi masyarakat. Dengan begitu diharapkan negeri itu tidak lagi dihisap habis-habisan dan dapat memperoleh lebih banyak berkat demi kepentingan penduduknya. Dahulu ada dua orang sultan yang masing-masing mempunyai daerah yang terpisah. Tidak lama sesudah pembagian atas wilayah Kesultanan Kesepuhan dan Kanoman itu, maka pada tahun 1473 bertambah lagi satu, yaitu Kesultanan Kacirebonan. Pemerintahan Raffles yang menggantikan tangan-besi Daendels telah menghapuskan ketiga penguasa tersebut. Gelar kesultanan dan turunannya tetap diakui, para sultan juga diberi pensiun.

Keadaan para sultan yang diturunkan Raffles itu menimbulkan rasa tak puas, baik mengenai pengakuan atas gelar kerajaan maupun tentang tunjangan yang sangat terbatas bagi orang-orang keturunan sultan yang tak punya pekerjaan tapi bersikap boros. Dengan surat tanggal 2 Juni 1818 No. 44 residen menyampaikan dua pucuk surat dari Sultan Sepuh dan Sultan Anom kepada gubernur jendral yang berisi satu permohonan: “Karena mereka berkewajiban memelihara keluarga sedang pendapatan mereka tak mencukupi untuk itu, agar hidup mereka dapat kiranya diperbaiki dengan jalan menambah tunjangan pensiun yang ada sekarang ini”. Dengan surat keputusan tanggal 16 berikutnya No.4, permohonan itu dikirim kembali kepada residen dengan catatan: “agar memberitahukan dan membuat perhitungan terperinci tentang segala sesuatu yang diperlukan oleh kedua sultan tersebut, beberapa mereka terima dahulu-Sultan Anom dan Sultan Sepuh dan beberapa sekarang, disertai pertimbangan secukupnya”.

Tapi sekalipun mereka telah diturunkan secara politis, namun pengaruh kebesaran mereka tak hilang dan tetap ada pada rakyat, sehingga dengan atau tanpa pengetahuan mereka, rasa tak puas menjalar terus dan secara diam-diam atau terang-terangan mengambil bentuk berupa tuntutan, agar dipulihkan kembali kedudukan mereka dan inilah yang dipakai sebagai alasan untuk mengatur timbulnya suatu pemberontakan. Tidak lama sesudah masa pemulihan (kekuasaan oleh Inggris kepada Belanda) pada akhir November dan awal Desember 1816, keadaan pun sudah mulai bergolak. Sebab-sebab pemberontakan Cirebon antara lain:

  • Adanya hasutan dari pihak Inggris.
  • Adanya kesewenangan pemilik tanah partikelir.
  • Berlakunya Landrete secara sembrono.
Keadaan seperti itu diakui oleh residen pertama sesudah pemulihan, yaitu W. N. Servatius dan pembesar ini bukanlah terbaik dalam segala-galanya, tapi seperti ditulis oleh Willem Van Hongedorp kepada ayahnya tanggal 30 Juni 1826. Isinya: “Ia adalah seorang yang mempunyai pertimbangan sehat dan belum ada terdengar orang memburuk-burukkan namanya sekalipun berada di tengah-tengah pergaulan yang saling mengiri”. Tahun 1816 markas kaum perusuh memang berada di Krawang dan waktu itu membatasi gerakannya disekitar itu saja, namun dipercayai bahwa perlawanan yang sebenarnya berasal dari Cirebon dan orang Krawang yang tak berpikir panjang itu digunakan sebagai pelopornya. Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi terdapat pada data (laporan) seperti dibawah ini:

Laporan dari kepala pemerintahan Priangan, bertanggal Karansambung 30 November No. 9 dan Bandung tanggaal 4 Desember No. 12, isinya: “Semuanya dalam hubungan dengan kemungkinan adanya pemberontakan di Indramayu, terutama daerah Kandanghaur, perampok atau perusuh telah membakar pondok-pondok penggaraman setelah membakar lebih dahulu garam yang terkumpul di tempat itu, pasanggrahan Losari musnah dimakan api, penduduk Tugu dan Sumber telah mempersenjatai diri, siap untuk bergabung dengan perusuh segera setelah mereka mendapat panggilan dari Kuwu mereka”. Residen mengambil langkah-langkah untuk mencegah kaum perampok menyeberangi Cimanuk dan memerintahkan kepala-kepala distrik dipingir sungai itu agar secara keras menjaga keamanan dan keselamatan di bagian keresidenannya itu. Ia meminta wewenang pemerintah untuk “mengambil tindakan luar biasa yang diperlukan menurut keadaan demi terjaminnya ketentraman”. Keputusan pemerintah yang telah disebut tentu saja memperbolehkannya dan residen diberitahu pula bahwa komandan militer Afdeeling 2 (di Semarang) telah dikuasakan untuk “memberikan bantuan yang telah diminta oleh residen”; tapi dikatakan bahwa pemerintah percaya, bantuan itu tidak akan diminta, “kecuali keadaan sudah sangat mendesak”.

Dalam suratnya tangal 4 Desember 1816 No. 35, Residen Cirebon mengatakan bahwa laporan Asisten Residen Indramayu tentang keadaan di Kandanghaur tidak begitu mencemaskan karena dalang kerusuhan yaitu Jabin bersama 20 anak buahnya telah pindah dari Laummalang ke desa Legun di sekitar Cirebon. Residen mengusulkan untuk mengamankan Jabin karena perpindahannya tersebut mencurigakan. Pemerintah menanggapi usulan tersebut dengan surat pada tanggal 8 Desember 1816 No. 41, residen diperintahkan agar jangan melakukan penahanan “jika tidak terpaksa”, namun segala sesuatu diserahkan pada kewaspadaan. Jabin harus diikuti secara seksama, diperiksa semua alasan dan sebabnya ia pindah tempat dan diusahakan agar ia kembali ketempat semula.

Pada tanggal 6 Desember, residen melaporkan bahwa kerusuhan semakin meningkat sehingga perlu dibuat pengaturan-pengaturan militer yang lebih keras dan ini menyebabkan pers Inggris (The Times) membuat ejekan-ejekan kepada kita (Belanda). Nahkoda Brantlight yang menyaksikan kejadian-kejadian itu telah membantah semua tuduhan dalam Amsterdamshe Courant, pada tanggal 8 Januari 1818.

Tanggal 19 Juni 1817, Inggris meninggalkan pulau Jawa. Pemerintah kita (Belanda) memperkeras peraturan bagi tuan-tuan partikelir untuk mencegah kesewenang-wenangan; menghadapi landrete di Cirebon. Di seluruh Hindia yang sudah kembali ke tangan kita tampak adanya ketentraman, termasuk daerah Maluku yang sudah ditakhlukkan kembali. Demikianlah nada laporan-laporan rahasia dari Indie tertanggal 8 Februari 1817 dan kemudian 23 Desember yang mengandung pendangan-pandangan baik tentang keadaan poitik pada umumnya. Karena itulah, pada tanggal 17 Januari 1818, Jendral de Kock berangkat ke Ambon dengan kapal perang Tromp-Kapten J. Nooy-dengan maksud mengambil alih pemerintahan dari perwira laut (schout bij nacht) Buyskes dan juga panglima tentara Anhing diijinkan cuti karena sakit, berangkat bersama dengan istrinya dengan kapal yang sama menuju Jepara.

Hanya beberapa hari sesudah itu, timbullah kerusuhan besar-besaran di distrik Blandong, Cirebon. Residen menganggap bahwa biang keladi kerusuhan itu adalah Jabin yang namanya diperhalus menjadi Bagus Jabin. Pada pertengahan tahun 1819, ketika gubernur jendral mengadakan perjalanan keliling Jawa dan singgah di Cirebon, telah membuat keputusan pada tanggal 23 Juli 1819 No. 12 yang isinya: “Agar residen tidak membiarkan berlalu sesuatu kesempatan untuk mengadakan pengusutan tentang sebab-sebab kerusuhan yang sudah lampau dan setelah itu membuat laporan selengkapnya”.

Akhirnya yang menjadi biang keladi kerusuhan bukanlan Jabin, namun seorang demang desa Perdagangan yang bernama Nairem (Neirem). Ia adalah pengikut Bagus Rangin yang merupakan biang keladi kerusuhan 1811 yang masih dibiarkan di Krawang, dimana ia selalu berusaha membuat kerusuhan-kerusuhan. Selain Nairem, ada juga seorang dari Distrik Semarang yang bernama Rono Diwongso.

Peta pergerakannya sebagai berikut: Jalan raya dari Bogor, yang melewati Sukabumi, Cianjur (dulunya ibu kota Priangan), Bandung, Sumedang dan terus ke timur laut menuju Tomo Karangsambung, dipinggir Cimanuk, di perbataasan Priangan-Cirebon. Ditempat itu terdapat gudang-gudang penyimpanan kopi yang penting.

Pemberontakan pada tahun 1818 muncul dalam dua tahap, yaitu pada bulan Januari sampai Februari dan blan Juli sampai Agustus. Pada tahap pertama, Nairem sudah tertangkap dan ketika itu ia ditahan tanpa ada kepastian tentang kesalahannya sebaga pemimpin dan perencana pemberontakan. Pada tahap kedua, Serrit yang menjadi kepala pemberontakan tertangkap. Dari hasil pemeriksaan, diketahui bahwa Nairem adalah terdakwa utama. Seperti tertera dalam surat keputusan gubernur jendral tanggal 12 Oktober 1818 No. 3 sehubungan dengan pemberitaan sebelumnya, tanggal 26 September No. 128, bahwa:

Ada cukup alasan untuk menetapkan tahanan yang bernama Bagus Serrit dalam bulan Februari tahun ini terang-terangan menimbulkan pemberontakan dan mengangkat dirinya sebagai kepala pemberontak.

Ia mengerahkan anak buahnya yang dipersenjatai melawan pasukan yang dikirim pemerintah ke sana untuk mengembalikan ketentraman dan bertempur dengan mereka.

Selama pemberontakan itu telah terbunuh pegawai-pegawai pemerintah atas perintahnya, menurut bukti-bukti sementara, terjadi perampokan, pembakaran yang menimbulkan kekacauan besa, tidak mengindahkan sama sekali perntah yang dikeluarkan pemerintah.

Ketika kerusuhan terjadi, nama-nama sultan juga disebutkan karena keterlibatan mereka dalam erusuhan tersebut baik langsung maupun tidak langsung. Misalnya: Residen Madura dan Sumenep memberitakan dalam suratnya tanggal 3 Februari 1818 No. 90 bahwa seorang yang bernama Sominta Raja, kelahiran Cirebon, telah tiba di Sumenep dari Malaka dengan menumpang kapal yang berasal dari Bangil, melalui pulau Baviaan. Ia menyebut dirinya Pangeran Ario dan termasuk keluarga Sultan Kanoman, ia diserta wanita-wanita dan dua orang anak-anak, beserta dua orang haji, kesemuanya adalah orang Cirebon. Pangeran tersebut menunjukkan surat alan dari Inggris, bertanggal Malaka, 31 Januari 1815, sedang kedua haji itu tidak mempunyai surat-surat. Pangeran itu menerangkan bahwa semasa Daendels, ia dibuang ke Banyuwangi, tapi ditengah jalan kapal ditangkap Inggrsis dan ia dibawa ke Malaka. Arena curiga, residen menahan mereka dan ini disetujui dengan belsit pemerintah tanggal 18 Februari 1818 No. 5.

Dengan berakhirnya pemberontakan bulan Agustus 1818, Residen Cirebon dan komandan tentara telah mengirimkan pula laporan-laporan terakhir mereka mengenai jalannya peristiwa. Sebagai kelanjutannya, dinyatakanlah dalam surat keputusan pemerintah tanggal 26 September 1818 No. 27 antara lain: bahwa kepada kementrian (di Nenderland) akan dikirimkan suatu uraian tentang segala sesuatu yang telah terjadi dan ini pun dilakukan pada tanggal yang sama, dengan surat No. 143.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar