Senin, 20 Agustus 2012

Konflik Cirebon abad 17

Konflik internal Cirebon abad 17 menurut Dr. Nina Herlina Lubis, lebih mengemuka dibanding konflik eksternal. Nina mencontohkan Pangeran Aria Carbon yang berhasil mengubah konflik internal dan menjadikan beliau sebagai intelektual pada zamannya. Urung jadi sultan namun menghasilkan kitab Purwaka Caruban Nagari, juga seorang ahli hukum pertanahan, hingga diangkat Kompeni menjadi pengawas pemerintahan.
Upaya meredusir konflik seharusnya dilakukan oleh keluarga keraton saat ini. Pertikaian keluarga lantaran berebut jabatan sultan sejak abad ke 16 di kerajaan-kerajaan Islam Indonesia berakibat lumpuhnya kerajaan. Keadaan ini memudahkan VOC memasang jeratnya, dan pada gilirannya menjadi imperium VOC, sebuah kongsi dagang Belanda yang dipersenjatai. Rujukan sepenggal biografi Pangeran Aria Carbon, tak cuma menjadikan kekaguman kita bertambah; tetapi juga memberi hikmah tentang cara smart power meredusir konflik internal. Keluarga keraton yang lantaran berbagai sebab meninggalkan istana, lalu di tempat baru menggulati keilmuan yang maslahat ~antara lain ilmu agama dan kemasyarakatan.
Contoh lain pun dilakukan Pangeran Sutajaya yang menjauh dari istana ke pesisir Losari. Dari sinilah Pangeran Losari membina masyarakat melalui tajug (musholla), dan meniupkan heroisme serta perlawanan kepada VOC. Nama lain ialah Mbah Muqoyim yang mendirikan Ponpes Buntet di Astanajapura paska meninggalkan istana. Bila membedah sejarah cirebon di abad konflik itu, sederet nama besar leluhur Cirebon akan kita dapati.

Cirebon abad 17 adalah Cirebon yang ilang kaprabon, Kuningan yang kelangan, dan Sumedang yang wirang. Artinya Cirebon yang hilang kerajaannya, Kuningan yang kehilangan, dan Sumedang yang memalukan. Dalam ujaran budayawan kampung, Kartani, “Saat itu Cirebon remek bebek (hancur lebur).” Soalnya bisa dirunut dari konflik kepentingan internal yang mematikan Pelabuhan Amparan Jati/ Muara Jati yang telah memiliki lampu mercusuar di akhir abad ke 15 hingga Laksamana Cheng Ho dengan 600 armada besarnya singgah ke Cirebon.
Konflik kepentingan internal itu lantas mematikan perniagaan pelabuhan dan sungai. Urat nadi ekonomi wong cerbon terputus. Pantas saja bila dua dari sekian petatah petitih Sinuhun Jati ada yang demikian : Aja dagangan atawa warungan (jangan berdagang jika hanya dijadikan tempat berkerumun), dan Aja lunga layaran ing lautan (jangan berlayar ke lautan, bila tak punya persiapan).
Konflik Cirebon abad 17 setidaknya memunculkan harapan pentingnya pengetahuan sejarah bagi masyarakat, pertautan sejarah dengan hikmah yang dapat dipetik dari pelajaran masa lalu, atau merangkai kembali the golden age yang ada pada sejarah lokal dengan kesadaran postmodernis.  Dapat dibayangkan jika kekuasaan seorang Tumenggung / Bupati serta kuwu/ kepala desa pada upacara pelantikan yang bernama Gegelan Tanda Keprabon (GTK) menelan biaya tinggi. GTK meminjam Kartani harus menyediakan makan minum kepada pasukan Kulun-kulun sebagai paspamdes (pasukan pengaman desa) dan warga desa dengan menyembelih minimal 2 (dua) ekor kerbau, kuwu mider keliling tapal batas desa, menggelar kesenian wayang kulit ruwatan -tayub-ketuk telu-sampyong. Pakaian adat dan kebesaran tampak di GTK. Begitulah jabatan tumenggung dan kuwu seumur hidup memungkinkan digelarnya GTK. Kalau kini ada upacara yang bernama sertijab (serah terima jabatan), agaknya terinspirasi oleh GTK sejak abad 15 di Cirebon.
Membicarakan sejarah cirebon tak lepas dari khasanah cerita lisan pun terbukti memperkaya kebudayaan di sebuah wilayah yang sebelum kedatangan Sunan Gunungjati dengan gelar Panetep Panatagama Rasul di Tanah Sunda, serta Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panataga Awliya Alllah Kutubid Jaman Khalkifatur Rasulullah saw, masih berupa hutan sunyi di pesisir utara Jawa. Kekuasaan dan jabatan Sunan Gunungjati (SGJ) sebagai kepala agama dan kepala negara, mengutip Dadan Wildan, “Aktivitas SGJ yang tampil sebagai kepala negara sekaligus sebagai salah seorang Walisanga lebih memprioritaskan pada pengembangan agama Islam melalui dakwah”. Langkah itu ialah menyediakan sarana ibadah keagamaan dengan mempelopori pembanguan Mesjid Agung dan mesjid-mesjid jami di wilayah bawahan Cirebon.
Di bidang pemerintahan dibangun keraton, sarana transportasi melalui jalan laut, sungai, dan jalan darat, pembentukan pasukan keamanan untuk menjaga bahaya (jagabaya) yang jumlah dan kualitasnya memadai baik di pusat kerajaan maupun di wilayah yang telah dikuasainya. Untuk mendanai berbagai pembangunan tersebut, diberlakukan pajak yang jumlah, jenis, dan besarnya disederhanakan sehingga tidak memberatkan rakyat yang baru terlepas dari kekuasaan kerajaan Pakuan Pajajaran.
Konflik internal pun mensuat dari sengketa pertanahan antara kerajaan Cirebon dengan pemerintah saat ini. Upaya merdusir konflik tersebut dapat diawali membuka kembali perjanjian VOC dengan Sultan Cirebon masa lalu, dengan kajian oleh pakar hukum pertanahan Harto Yuwono. Ini penting untuk membuktikan berbagai hal menyangkut perjanjian pertanahan pada abad ke-17 itu, misalnya kejelasan menelisik keabsahan perjanjian tertulis karena beberapa perjanjian pertanahan ada yang menuliskan: Jangan diberi tahu kepada siapa tanah ini dijual.
Bukan Romantisme
Berbekal kekuatan, kesungguhan leluhur Cirebon mengatasi konflik yang dilakukan secara soft power (misalnya pernikahan keluarga kerajaan dengan kerajaan lain) smart power (sebagaimana dilakukan Pangeran Aria Carbon), beragam konflik yang kini kembali mengemuka di Cirebon sudah seharusnya diantisipasi melalui kedua cara tersebut di atas. Terlebih penting adalah dengan kecerdasan menangkap nuansa sejarah, mengkompilasi imajinasi dalam melaksanakan kepemimpian ~imajinasi: satu hal yang diingatkan pemikir Islam Sayyed Husen Nashr~  sebaiknyalah sebesar apa pun konflik harus dapat diselesaikan melalui cara-cara yang cerdas.
Konflik abad 17 inilah yang meminggirkan peran wong Cirebon dalam banyak hal. Bukan saatnya lagi bicara siapa keturunan siapa, melainkan apa yang telah dilakukannya bagi Cirebon. Seloroh Susanto Zuhdi agak menggelitik ketika berkata, “Kerajaan Buton (Sulawesi Tenggara) diislamkan oleh SGJ”. Lebih lanjut ia mengatakan Cirebon sebagai kesultanan yang terombang ambing. Atau dalam bahasa Nina Lubis: Surat Perjanjian tanggal 7 Januari 1681, Cirebon resmi menjadi vassal VOC. Jadilah urusan perdagangan diserahkan kepada VOC, berbagai keputusan semisal pergantian sultan dan penentuan jumlah prajurit harus berdasar persetujuan VOC di Batavia, ketika sultan akan bepergian harus seijin VOC dan naik kapal mereka, dan dalam berbagai upacara penting pejabat VOC harus duduk sejajar dengan para sultan”.
Akankah hanya lantaran konflik kepentingan internal dengan mengusung politik sebagai panglima, Cirebon 2010 harus mengalami kembali masa gelap sejarah abad ke-17 itu? Belajar dari kisah usang dan kegetiran masa tersebut, seharusnyalah kita kembali memposisikan diri tidak sebatas warga yang pasif. Memajukan Cirebon dalam berbagai bidang sesuai kapasitas dan kapabilitas, menyelesaikan konflik internal yang mungkin melebar menjadi konflik publik, mesti segera diakhiri. Bukan saatnya lagi merenda serta mengingat kejayaan masa lalu dengan dalih romantisme sejarah. Zaman terus bergerak. Manusia tetap menjadi wakil tuhan di muka bumi untuk merepresentasikan nilai kebaikan dalam relasi sosial.
Konflik Cirebon abad XVII tentu saja tak boleh terulang dan menjadi cerita pedih yang diwariskan kepada Wong Cerbon berikutnya.
Cirebon saat itu tidak hanya mengalami konflik politik teramat berat lantaran kekuatan VOC mengharubiru Nusantara. Kekuatan VOC dengan kepiawaiannya memasuki ranah kebudayaan Jawa dan Cirebon khususnya memastikan kekuatan agama Islam sebagai benteng pertahanan yang harus diperkuat. Benteng dimaksud tak lain adalah keinginan kuat warga masyarakat yang telah memeluk agama Islam untuk lebih memahami serta mendalami ajaran suci agama yang dibawa melalui jalur perdagangan laut sejumlah saudagar ini di Kesultanan Kanoman Cirebon.
Cirebon akhir abad 17 Masehi dalam sejarah adalah masa keemasan ketika pribumisasi islam ~pinjam istilah Gus Dur~ disebarkan melalui pendekatan kultural. Kesultanan Cirebon yang terbagi dua karena Sultan Banten Ki Ageung Tirtayasa menobatkan pangeran keturunan Putra Panembahan Adining Kusuma (Kerajaan Mataram) yakni Pangeran Badriddin Kartawijaya dan Pangeran Syamsuddin Martawijaya. Kartawijaya bergelar Sultan Anom dan Martawijaya bergelar Sultan Sepuh. Maka berdirilah dua kesultanan di Cirebon yakni Kesultanan Kanoman dan Kesultanan Kasepuhan.
Ada yang menarik dari kisah sejarah kerajaan Islam di Jawa saat itu. Banten yang mengalami puncak kekuasaan pada pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Mataram Yogyakarta yang juga mengalami puncak keemasan pada pemerintahan Sultan Agung turut membidani lahirnya dua kesultanan Cirebon. Namun ia bukan bernama hegemoni politik dan kekuasaan, melainkan lebih karena pernikahan antarkeluarga kesultanan. Cirebon, Banten, dan Mataram terikat hubungan darah lalu melahirkan keturunan untuk meneruskan peradaban Islam yang harus dikawal hingga kini.
Tahun 1677 Masehi merupakan tahun peresmian Kesultanan Kanoman. Ajaran agama Islam menempati posisi unggul hingga mendatangkan para pencari ilmu agama. Kehadiran santri para pencari ilmu tak urung menginspirasi seniman kesultanan Kanoman untuk memvisualisasi aktivas keagamaan itu dalam bentuk kesenian. Demikian Kemantren hadir. Kemantren sebagaimana dijelaskan semula, merupakan visualisasi seni ketika sekumpulan santri tengah asik memperdalam ajaran agama Islam. Kemantren diambil dari kata mantri, kemantrian, kemantren yang artinya ahli atau orang yang bertugas tentang urusan khusus yang membawahi beberapa desa. Mafhum terjadi pada bahasa daerah Jawa Barat seseorang yang ahli di bidang pengairan dinamakan mantri cai, ahli khitan dinamakan mantri sunat, ahli pertanian dinamakan mantri pertanian dan sebagainya. Padanan kata mantri dalam bahasa Cirebon juga biasa dinamakan juru (misalnya juru tulis, juru runding).

Ditulis Oleh : Dadang Kusnandar
Sumber : http://www.beningpost.com/read/3190/cirebon-vis-a-vis-kompeni 
 http://www.beningpost.com/read/3592/ketika-santri-memperdalam-agama 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar