Sabtu, 10 Desember 2011

Pemberontakan Cirebon sebagai Penyebab Runtuhnya Kraton-Kraton Cirebon

Berdasarkan laporan yang dibuat oleh Nicolas Engelhard yang dimuat dalam majalah Indisch ArchiefTijdschrift de Indien yang dihimpun oleh Dr. S.A. Buddingh disampaikan bahwa Cirebon dilanda pemberontakan besar yang bila dibiarkan akan (1850) sangat membahayakan kelangsungan pemerintahan Hindia Belanda di Jawa.
Pada tanggal 1 Juli 1806, Nicolas Engelhard menerima surat dari Gubernur Jenderal Albertus Henricus Wiese di Batavia yang isinya memberitahu tentang kondisi di Cirebon yang mulai memburuk dari hari ke hari. Wiese kemudian pada tanggal 23 Juli 1806 memberikan perintah kepadanya agar segera mengirimkan pasukan Madura yang ditempatkan di Ujung Timur Pantai Timur Laut Jawa. Pasukan ini terdiri atas 1 kompi, dibantu pula oleh pasukan dari Surabaya sebanyak satu batalyon. Permasalahannya adalah untuk segera menangani kerusuhan yang ada di Cirebon dan mencegah perpindahan penduduk di Cirebon dan segera mengembalikan keamanan dan ketentraman di kabupaten yang sama. Mengingat gawatnya permasalahannya ini N. Engelhard memutuskan untuk berangkat pada hari itu juga. Jabatannya sebagai Dewan Pertama dan Direktur Jenderal Republik Bataaf Hindia, Gubernur dan Direktur di sepanjang Timur Laut Jawa sementara diserahkan kepada Rothenbuhler yang saat itu menjadi residen di Surabaya. Keberangkatannya ke Cirebon disertai oleh satu batayon militer yang dipimpin oleh Pangeran Sicodiningrat, putra sulung Panembahan Madura, di bawah perintah Mayor Komandan Milisi Ujung Timur Jawa Carel von Frauquemont dengan menggunakan kapal Debora dan Phoenix.[v]
Sesampai di Semarang, Nicolas Engelhard menerima surat dari Walbeck, mantan residen Cirebon yang dipecat karena tidak mampu menangani kerusuhan ini, yang intinya selain adanya pemberontakan yang makin hari makin membesar juga terdapat epidemi penyakit menular yang melanda penduduk Cirebon. Kesimpulannya adalah Engelhard tidak dapat memanfaatkan seorang pun di Cirebon untuk menjalankan misi ini.
Sesampai di kota Cirebon, Engelhard melihat bahwa semua aktivitas penduduk terhenti karena para abdi dalem di kraton meninggalkan sultan-sultan mereka. Pendeknya semua penduduk di wilayah kerajaan telah memberontak, bahkan daerah itu dikuasai oleh pemberontak bersenjata dengan tokoh-tokohnya yang melakukan tindakan kekerasan dan pemerasan terhadap orang-orang Cina yang tampaknya menjadi sasran para pemberontak itu (hal: 84). Kesimpulan Engelhard terhadap pemandangan kota Cirebon saat itu adalah kepercayaan rakyat terhadap para pejabat dan raja-raja di Cirebon telah hilang sama sekali. Mereka tidak lagi bersedia mematuhi janji atau kesanggupannya dan sebagai akibatnya tidak ada utusan yang diterima oleh para pemberontak.
Jumlah pasukan yang disiapkan saat itu terdiri atas 2017 pasukan termasuk 1852 orang pribumi yang ditempatkan di berbagai tempat baik di Cirebon maupun Indramayu, kemudian di beberapa pos yang terletak di pedalaman seperti: Cirebon sebanyak 278 serdadu, Indramayu 332 serdadu, Karangsambung 151 serdadu dan Cibitung 189 serdadu, Indramayu sebanyak 332 serdadu, Karangsembung 151 serdadu, Cibitung 189 serdadu, Losari 1067 serdadu. Sebaliknya jumlah penduduk yang memberontak diperkirakan sebanyak 35 sampai 40 ribu orang dengan dilengkapi senapan, tombak, pelempar batu, dan berbagai senjata tradisional lainnya.
Nicolas Engelhard sebagai pengendali pasukan pemulihan Cirebon berkeinginan agar tidak terjadi pertumpahan darah di Cirebon. Peperangan akan menjadi kesengsaraan tidak hanya bagi rakyat yang tidak berdosa, tetapi juga bagi tentara Belanda, karena harus berhadapan dengan hutan yang luas, pegunungan, dan rawa-rawa yang akan membuat para serdadu menderita. Berdasarkan arsip kompeni yang sudah dipelajarinya, peperangan akan membuat rakyat menjadi trauma dan susah untuk diajak kembali ke kampung halamannya. Sementara itu biaya pemulihan perang juga sangat besar, padahal saat itu pemerintah sedang mengalami kesulitan keuangan (Hal. 87). Para serdadu diinstruksikan untuk tidak menembak kecuali bila terdesak. Untuk itu dia memanggil penasehatnya untuk mencari tahu dasar alasan mengapa rakyat memberontak kepada kompeni. Kemudian dikirimlah beberapa utusan untuk menemui pemberontah yang sudah diketahui di bawah pimpinan Bagus Sidong.
Bagus Sidong bersama dengan kedua anaknya, Bagus Arisim dan Bagus Suwasa, melakukan pemberontakan kepada raja dan orang-orang Cina di daerah Cirebon.
Karena Engelhard telah mengetahui akar permasalahan pemberontakan ini, maka dikeluarkanlah instruksi antara lain:
1.      Tidak akan melakukan gerakan lebih lanjut terutama tidak akan melakukan tembakan;
2.      Para pemberontak agar segera kembali ke kampung halamannya masing-        masing;
3.      Apabila anjuran untuk kembali ke desa masing-masing tidak dipatuhi, maka pemerintah akan memaksa pemberontak untuk mematuhi dengan kekerasa senjata, serta jika perlu menjadikan mereka semua bersama wanita dan anak-anak sebagai korban kekerasan hati dan kekerasan kepada mereka;
4.      Himbauan ini akan diterjemahkan dalam bahasa pribumi baik di wilayah         Cirebon maupun di daerah sekitarnya.
Utusan Nicolas Engelhard kembali dengan membawa berita gembira karena para pemimpin telah mengenal Nicolas Engelhard ketika menjadi residen di Semarang dan mereka bersedia mendengarkan peringatan dia, dan bersedia kembali ke kampung halamannya.
Pada tanggal 23 Juli 1806, Bagus Sidong dan kedua putranya mengirim surat kepada Nicolas Engelhard yang intinya:
1.      Permohonan agar Pangeran Raja Kanoman, Raja Kabopaten dan Raja Lautan dikembalikan ke kraton;
2.      Mohon agar orang Cina dijauhkan dari mereka karena telah memeras rakyat dengan meminta uang dan meminta tanah mereka;
3.      Mohon agar para serdadu Batavia ditarik dari Cirebon, termasuk pasukan di Indramayu, Sukasari, dan Tomono, agar rakyat tidak menderita ketakutan terhadap mereka.
Nicolas Engelhard membalas surat mereka bertiga yang intinya menyetujui semuanya ini bahkan akan memberikan amnesti bagi para pemberontak. Dia juga berjanji untuk tidak akan memanggil pasukan militer untuk ditempatkan di wilayah Cirebon (Hal.: 96). Bagus Sidong bersama dengan kedua putranya akhirnya bertemu dengan Engelhard di suatu tempat di dekat Palimanan dan dengan demikian selesailah pemberontakan di bawah pimpinan Bagus Sidong.
Sebagai akhir dari pemberontakan ini, dicapai kesepakatan yang dibuat antara anggota Dewan dan pejabat Direktur Jenderal Hindia Belanda dan Gubernur sepanjang Pantai Timur Laut Jawa di satu pihak dan kedua orang sultan di daerah  Cirebon Kanoman dan Kaepuhan di pihak lain. Dalam kesempatan itu disepakati bahwa Sultan Kanoman diberi hak mutlak atas tanah yang termasuk milik kompeni secara sah dan dijadikan bupati. Namun, untuk mencegah agar peristiwa tersebut tidak terulang kembali, dicapai kesepakan antara pemerintah Hindia Belanda dan kedua Sultan yang terdiri atas 46 pasal (halaman 240—267). Intisari kesepakatan itu antara lain:
a.      Kasepuhan dan Kanoman harus membayar kerugian akibat pemberontakan itu, dan harus sudsah lunas dalam waktu 10 tahun (Pasal 1).
b.      Daerah Cirebon dipimpin oleh dua orang Tumenggung sebagai patih selain oleh kedua orang Sultan, dan oleh enam mantri di mana seorang Tumenggung dengan tiga orang mantri di Kasepuhan dan sejumlah pejabat yang sama di Kasepuhan. Semua itu berada di bawah residen atau yang diberi kuasa atas nama Republik Bataaf. (Pasal 3).
c.       Tumenggung disahkan oleh Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia Belanda, sementara para Mantri disahkan oleh Residen yang semuanya dilengkapi dengan akta. (Pasal 4).
d.      Semua pejabat dari Demang, Hangabehi atau kuwu yang dipilih oleh Sultan harus diserahkan kepada residen dan pengangkatannya dibuktikan dengan akta. (Pasal 6)
e.      Semua penduduk yang berada di bawah pemerintahan Sultan harus dikenai pajak. (Pasal 8).
f.        Tidak ada perpindahan penduduk dari distrik satu ke distrik lainnya kecuali atas ijin Sultan. (Pasal 9).
g.      Dalam hal pengadilan, penghulu atau jaksa dari kedua Sultan tidak boleh berkerabat sampai generasi ketiga. Semua tuduhan berat diserahkan kepada keputusan yang dipimpin oleh residen sebagai kepala pengadilan, dua orang Sultan, dua orang Tumenggung atau patih dan enam orang mantri. Bila perlu bisa ditambahkan orangnya atas ijin pemerintah Bataaf. (Pasal 12).
h.      Semua perkara yang tidak disepakati di tingkat Pengadilan Negeri akan diserahkan kepada Pengadilan Tinggi di Batavia atau di kota lain di mana lembaga ini berada. (Pasal 13)
i.         Apabila ada penduduk pribumi yang bukan dari wilayah Sultan yang ditangkap karena kejahatan, bisa langsung diserahkan kepada Residen untuk diadili. Pasal 14)
j.        Apabila orang Cina yang menyadi penyebab perpindahan penduduk, maka kepada orang Cina tidak diijinkan untuk tinggal di pedalaman. (Pasal 15)
k.       Kedua Sultan wajib menyerahkan beras kepada pemerintah Bataaf sebesar masing-masing 300 koyang (Pasal 19).
l.         Tidak ada pemecatan Tumenggung, Mantri, Demang Hangabehi atau Kuwu yang bisa dilakukan tanpa sepengathuan Residen. (Pasal 26)
m.     Semua upacara adat yang berhubungan dengan penerimaan Gubernur Jenderal, dan anggota Dewan, perlengkapan upacara, tempat duduk dalam peradilan, penampilan di depan umum tetap diatur atas dasar sama seperti yang ada saat itu. (Pasal 28)
n.      Pemerintah Bataaf akan memonopoli pengangkutan candu dan kain dari Hindia Barat di tanah Cirebon. (Pasal 29).
o.      Kedua Sultan berjanji untuk tidak membuat benteng pertahanan, membentuk pasukan, ataupun mengirimkan ekspedisi ke tempat lain. (Pasal 33).
p.      Kedua Sultan akan menerima gaji masing-masing 1125 ringgit per tahunnya dari pendapatan sewa atau cukai di perbatasan Cirebon. (Pasal 37).
q.      Kedua Sultan harus mengirimkan uang untuk perawatan orang-orang yang dibuang ke Ambon, Banda atau tempat lain. (Pasal 39)
Kontrak ini ditandatangani tanggal 1 September 1806 oleh kedua Sultan, patih dari kedua kesultanan di satu pihak dan Nicolas Engelhard, François van Braam, Jacobus Albertus van Middelkoop, Jan Willem Domis di lain pihak. Sebagai saksi Pangeran Secadiningrat, Pangeran dari Madura, Mayor Komandan dan Kepala Ekspedisi Carel Gaup, dan Mayor Komandan Pasukan Madura Carel von Franquemont. Untuk terjemahan dari bahasa Belanda ke Bahasa Melayu dilakukan oleh Adriaan Theodor Vermeulen. Untuk terjemahan ke dalam bahasa Jawa dilakukan oleh Tumenggung Kendal Suroadinegoro.
Kenyataannya pemberontakan rakyat Cirebon tidak berhenti di sini saja. Pada masa Gubernur Jenderal Daendels berkuasa, di Cirebon terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Bagus Rangin. Berdasarkan arsip “Pemberontak Bagus Rangin tahun 1812” diketahui bahwa Bagus Rangin tinggal di Bantar Jati. Arsip yang berupa proses verbal yang berupa tanya jawab antara pihak pemerintah Belanda yang diwakili oleh Waterloo, dan Bagus Manuh. Sebagai saksi ikut pula menandatangani proses verbal ini G. Bois. (lihat Pemberontak Bagus Rangin 1812, bundel Cheribon nomor 38/8) koleksi Arsip nasional, Jakarta).
Bagus Rangin dianggap pemberontak karena dia ingin mengatur kampung halamannya di Bantar jati dengan membantu rakyat dalam mengatasi wajib kerja yang dilakukan oleh rakyat untuk pemerintah Belanda. Bagus Rangin mempunyai banyak pengikut dari Semarang di Ujung Timur hingga di Sumedang, Raja Galuh, dan beberapa wilayah lainnya. Bagus Rangin menolak berunding dengan Belanda karena dia merasa akan dipersalahkan oleh pihak pemerintah Belanda. Menurut Bagus Manuh, tujuan Bagus Rangin melakukan itu semua adalah untuk mengumpulkan rakyat dan menunjuk seseorang untuk memimpinnya yang tinggal di gunung. Sementara dia sendiri tidak menginginkan apa-apa.
Bagus Rangin selama ini bersembunyi di Gunung Aji, daerah Sumedang. Sementara persembunyian utamanya ada di Kabuyutan Kawuenten di Ciase. Bagus Rangin memiliki banyak anak buah dan sebagian besar membawa senapan. Amunisi dan Senapan dipasok dari daerah Krawang dan Pamanukan. Bahkan menurut laporan Bagus Manuh, Bagus Rangin memiliki dua meriam kecil berukuran ½ kaliber.
Sebenarnya Bagus Rangin masih kerabat dengan Bagus Arisim yang telah menandatangani kesepakatan dengan pemerintah Belanda. Namun Bagus Rangin telah telah melarikan diri dari wilayah Bantar Jati ke wilayah Bayawak dan bersembunyi di hutan Ujung Jaya daerah Sumedang dengan membawa isteri dan anaknya, yang kemudian berpisah dengan mereka. Selanjutnya tidak diketahui lagi di mana dia berada.
Bagus Manuh menjawab pertanyaan dari penanya bahwa bagus Rangin telah mengetahui bahwa paginya dia akan diserang dari penduduk Sukawana. Namun tidak diketahui persis siapa yang memberitahukan hal itu. Sebenarnya Bagus Rangin tidak ingin bertempur. Akan tetapi dia terpaksa bertempur karena harus membela diri. Bagus Rangin ingin tetap tinggal di sana dan bertani di sana. Sementara itu juga dilaporkan bahwa Bagus Rangin ingin mencari sejumlah orang yang kuat, yang akan dibawanya menuju pegunungan tinggi dan bersembunyi di daerah Banyumas, di mana Bagus Rangin bertahan.
Bagus Rangin mengajak warga Bantar Jati untuk pergi menuju ke Gunung Luhur untuk membangun kota atau ibu kota di sana yang diberi nama Nagara Panca Tengah dan dialah yang akan menjadi raja sekaligus menguasai daerah Gunung Luhur. Mungkin Bagus Rangin ingin menjadi raja di sana.
Bagus Manuh juga menggambarkan fisik dari Bagus Rangin yang belum dikenal oleh pemerintah Belanda. Dia adalah seorang pria berusia kurang lebih lima puluh tahun dan memiliki kulit berbintik yang tidak pernah sembuh. Dengan tanda itu dia sangat mudah dikenal banyak orang. Dengan penampilan sedang dan berperawakan tidak begitu gemuk, berkulit hitam, berbusana kebanyakan terdiri atas kebaya kasar. Bagus Rangin sangat terkenal oleh para pengikutnya dan sering tampil bersama Ama dan Rama Bantam yang biasanya sering diajak berbicara. Orang-orang pengikut bagus Rangin berkata bahwa Bagus Manuh tidak menunjukkan penghormatan kepada Bagus rangin ketika tampil di depannya. Satu-satunya hukuman yang dilaksanakan adalah memasung, memukul atau hukuman lain, tetapi tidak pernah ada hukuman mati yang dijatuhkannya.
Pada saat ditanya apakah bagus Manuh berani menghadap bagus Rangin dan membujuknya agar meminta maaf kepada pemerintah Belanda, Bagus Manuh menjawab bahwa dia tidak berani karena takut akan dibunuh. Disampaikan pula bahwa Bagus Rangin telah menyimpan semua surat pernyataan yang diterima oleh para pengikutnya dan Bagus Manuh menjamin bahwa Bagus Rangin tidak akan pernah mau meminta maaf.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar