Kraton Kaprabonan adalah salah satu keturunan Prabu
Siliwangi Raja Pakuan Pajajaran (Abad XV), beristri permaisuri bernama
Ratu Subang Larang, yang berputera:
" Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panata Agama Awliyai Allah Kutubid Zaman Khalifatur Rasulullah SAW "Pada tahun 1500 M Syech Syarief Hidayatullah telah menyebarkan agama Islam di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, bahkan sampai ke negeri Cina (Tartar). Susuhunan Gunung Jati beristri dengan Nyai Kawunganten (adik bupati Banten), berputera Pangeran Maulana Hasanudin yang kemudian menjadi Sultan Banten. Setelah itu beristeri lagi dengan Nyai Tepasari dan berputera Pangeran Pasarean yang meneruskan sebagai Kepala Pemerintahan di Cirebon yang nama lengkapnya adalah Pangeran Dipati Muhammad Arifin Pasarean. Pangeran Pasarean berputera Pangeran Adipati Carbon.
Pangeran Adipati Carbon berputera Panembahan Ratu I atau Pangeran Emas (Kepala Negara Carbon ke-2), bertahta mulai tahun 1528 M. Panembahan Ratu I berputera Pangeran Dipati Anom Carbon, Pangeran Dipati Anom Carbon berputera Panembahan Ratu II (Kepala Negara Carbon ke-3) wafat pada tahun 1601 M di Girilaya Yogyakarta ketika diundang oleh mertuanya, yaitu Amangkurat I Sultan Mataram katanya, tetapi ternyata ditipu muslihat oleh kolonial Belanda dengan cara disekap (dipenjarakan) untuk menandatangani penyerahan keukasaan pemerintah Cirebon kepada pemerintah Belanda. Namun Panembahan Ratu II tetap tidak mau menandatanganinya dan menyerahkan kekuasaan Cirebon kepada pemrintah Belanda, sampai akhirnya beliau wafat dan dimakamkan di pemakaman raja-raja di Girilaya, Imogiri Yogyakarta. Setelah wafatnya Panembahan Ratu II, kekuasaan pemerintah Kesultanan Cirebon akhirnya lemah karena putera-puteranya masih kecil akhirnya kekuasaan jatuh ke tangan pemerintah Belanda pada tahun 1601 M, sehingga kekuasaan pemerintah Kesultanan Cirebon secara mutlak tidak ada lagi. Kesultanan Cirebon hanya diberi wilayah kekuasaan dan hak-haknya secara terbatas.
Panembahan Ratu II (Panembahan Ratu Akhir) berputera:
Pangeran Raja Adipati Kaprabon tetap memegang komitmen melaksanakan amanat dari Gusti Susuhunan Jati Syech Syarief Hidayatullah, yaitu "Ingsun Titip Tajug Lan Fakir Miskin".
Maka dengan demikian beliau tetap tekun memperdalam agama tareqat dan menyebarkannya kepada para muridnya di sekitar wilayah Cirebon, bahkan banyak dari luar wilayah Cirebon yang berdatangan untuk menjadi muridnya, seperti dari wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pangeran Raja Adipati Kaprabon pada waktu diangkat menjadi Sultan Pandita Agama Islam Tareqat beliau telah diwarisi sebilah keris pusaka yang bernama Ki Jimat oleh Sultan Kanoman Pangeran Muhammad Badrudin dan beberapa kitab keagamaan maupun kitab pusaka dan sejarah yang sampai sekarang masih ada dan berjumlah sekitar 100 kitab dan tersebar di 4 paguron.
Keris Ki Jimat di dalamnya terukir dengan guratan emas dan tertulis Arab yang bermakna kalimat Tauhid dan keselamatan dunia akhirat. Setelah pesatnya perkembangan kemurdan keagamaan, 11 tahun kemudian Pangeran Raja Adipati Kaprabon pada tahun 1707 M mendirikan Langgar atau Tajug untuk tempat belajar ngaji dan agama agar proses belajar tersebut dapat berjalan dengan lancar dan baik, yang akhirnya juga dapat dijadikan tempat untuk pertemuan menyusun perjuangan melawan Belanda pada waktu itu.
Dalam setiap perjuangannya untuk mengadakan pelawatan ke daerah-daerah lain, P.R.A. Kaprabon menggunakan kereta berkuda yang dikawal oleh beberapa abdi dalemnya. Dengan kelincahan dan kepandaiannya dengan dalih agama, beliau tidak pernah ditangkap oleh tentara Belanda pada waktu itu, dan penyebaran agamanya pun cukup berhasil sampai ke pelosok-pelosok.
Setelah
Pangeran Raja Adipati Kaprabon sebagai Sultan Pandita agama Islam
Tareqat wafat pada tahun 1734 M, kemudian secara turun-menurun
diteruskan oleh puteranya, yaitu:- Pangeran Walasungsang atau Pangeran Cakrabuana yang bergelar Prabu Anom atau Sri Mangana.
- Ratu Mas Rarasantang.
- Pangeran Raja Sengara atau Kiai Santang Ratu Mas Rarasantang setelah menunaikan ibadah haji bersama kakaknya (Pangeran Walasungsang), namanya menjadi Hajjah Syarifah Mudaim. Dari sanalah Ratu Mas Rarasantang bertemu jodoh yang kemudian menikah dengan Sultan Mesir bernama Sultan Mahmud Syarief Abdullah dimana beliau keturunan ke-21 dari Rasulullah Muhammad SAW yang kemudian dikaruniai 2 orang putera, yaitu:
- Syech Nurudin Ibrahim Syarief Hidayatullah.
- Syech Syarief Nurullah Syech Syarief Hidayatullah (putera pertama Sultan Mesir) setelah berumur sekitar 26 thn, hijrah ke tanah Sunda dalam melaksanakan tugas untuk menyebarkan agama Islam sesuai dengan janji dan cita-cita ibundanya. Sedangkan Syech Syarief Nurullah (putera ke-2 Sultan Mesir) yang meneruskan ayahandanya sebagai Sultan Mesir, karena kakaknya tidak mau menjabat sebagai Sultan Mesir dan patuh perintah ibundanya.
" Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panata Agama Awliyai Allah Kutubid Zaman Khalifatur Rasulullah SAW "Pada tahun 1500 M Syech Syarief Hidayatullah telah menyebarkan agama Islam di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, bahkan sampai ke negeri Cina (Tartar). Susuhunan Gunung Jati beristri dengan Nyai Kawunganten (adik bupati Banten), berputera Pangeran Maulana Hasanudin yang kemudian menjadi Sultan Banten. Setelah itu beristeri lagi dengan Nyai Tepasari dan berputera Pangeran Pasarean yang meneruskan sebagai Kepala Pemerintahan di Cirebon yang nama lengkapnya adalah Pangeran Dipati Muhammad Arifin Pasarean. Pangeran Pasarean berputera Pangeran Adipati Carbon.
Pangeran Adipati Carbon berputera Panembahan Ratu I atau Pangeran Emas (Kepala Negara Carbon ke-2), bertahta mulai tahun 1528 M. Panembahan Ratu I berputera Pangeran Dipati Anom Carbon, Pangeran Dipati Anom Carbon berputera Panembahan Ratu II (Kepala Negara Carbon ke-3) wafat pada tahun 1601 M di Girilaya Yogyakarta ketika diundang oleh mertuanya, yaitu Amangkurat I Sultan Mataram katanya, tetapi ternyata ditipu muslihat oleh kolonial Belanda dengan cara disekap (dipenjarakan) untuk menandatangani penyerahan keukasaan pemerintah Cirebon kepada pemerintah Belanda. Namun Panembahan Ratu II tetap tidak mau menandatanganinya dan menyerahkan kekuasaan Cirebon kepada pemrintah Belanda, sampai akhirnya beliau wafat dan dimakamkan di pemakaman raja-raja di Girilaya, Imogiri Yogyakarta. Setelah wafatnya Panembahan Ratu II, kekuasaan pemerintah Kesultanan Cirebon akhirnya lemah karena putera-puteranya masih kecil akhirnya kekuasaan jatuh ke tangan pemerintah Belanda pada tahun 1601 M, sehingga kekuasaan pemerintah Kesultanan Cirebon secara mutlak tidak ada lagi. Kesultanan Cirebon hanya diberi wilayah kekuasaan dan hak-haknya secara terbatas.
Panembahan Ratu II (Panembahan Ratu Akhir) berputera:
- Pangeran Martawijaya, bergelar Sultan Sepuh Samsudin, menetap di Keraton Kasepuhan.
- Pangeran Kartawijaya, bergelar Sultan Anom Badrudin, menetap di Keraton Kanoman.
- Pangeran Wangsakerta, bergelar Panembahan Toh Pati sebagai asisten Sultan Sepuh yang menetap di Keraton Kasepuhan dan beliau hanya menurunkan sampai 2 turunan, setelah itu punggal (tidak menurunkan lagi).
- Pangeran Raja Adipati Kaprabon, dari ibunda Ratu Sultan Panengah (permaisuri ke-2) bergelar Sultan Pandita Agama Islam Tareqat, yang hijrah dan menetap di Keraton Kaprabonan.
- Pangeran Raja Mandurareja Qodirudin dari ibunda Nyi Mas Ibu (permaisuri ke-3) yang meneruskan sebagai Sultan Anom di Keraton Kanoman.
Pangeran Raja Adipati Kaprabon tetap memegang komitmen melaksanakan amanat dari Gusti Susuhunan Jati Syech Syarief Hidayatullah, yaitu "Ingsun Titip Tajug Lan Fakir Miskin".
Maka dengan demikian beliau tetap tekun memperdalam agama tareqat dan menyebarkannya kepada para muridnya di sekitar wilayah Cirebon, bahkan banyak dari luar wilayah Cirebon yang berdatangan untuk menjadi muridnya, seperti dari wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pangeran Raja Adipati Kaprabon pada waktu diangkat menjadi Sultan Pandita Agama Islam Tareqat beliau telah diwarisi sebilah keris pusaka yang bernama Ki Jimat oleh Sultan Kanoman Pangeran Muhammad Badrudin dan beberapa kitab keagamaan maupun kitab pusaka dan sejarah yang sampai sekarang masih ada dan berjumlah sekitar 100 kitab dan tersebar di 4 paguron.
Keris Ki Jimat di dalamnya terukir dengan guratan emas dan tertulis Arab yang bermakna kalimat Tauhid dan keselamatan dunia akhirat. Setelah pesatnya perkembangan kemurdan keagamaan, 11 tahun kemudian Pangeran Raja Adipati Kaprabon pada tahun 1707 M mendirikan Langgar atau Tajug untuk tempat belajar ngaji dan agama agar proses belajar tersebut dapat berjalan dengan lancar dan baik, yang akhirnya juga dapat dijadikan tempat untuk pertemuan menyusun perjuangan melawan Belanda pada waktu itu.
Dalam setiap perjuangannya untuk mengadakan pelawatan ke daerah-daerah lain, P.R.A. Kaprabon menggunakan kereta berkuda yang dikawal oleh beberapa abdi dalemnya. Dengan kelincahan dan kepandaiannya dengan dalih agama, beliau tidak pernah ditangkap oleh tentara Belanda pada waktu itu, dan penyebaran agamanya pun cukup berhasil sampai ke pelosok-pelosok.
- Pangeran Kusumawaningyun Kaprabon (1734 - 1766)
- Pangeran Brataningrat Kaprabon (1766 - 1798)
- Pangeran Raja Sulaiman Sulendraningrat Kaprabon (1798 - 1838)
- Pangeran Arifudin Kusumabratawirdja Kaprabon (1838 - 1878)
- Pangeran Adikusuma Adiningrat Kaprabon (1878 - 1918)
- Pangeran Angkawijaya Kaprabon (1918 - 1946)
- Pangeran Aruman Raja Kaprabon (1946 - 1974)
- Pangeran Herman Raja Kaprabon (1974 - 2001)
- Pangeran Hempi Raja Kaprabon (2001 - sekarang) Sumber : http://kaprabonan.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar